Jumat, 27 Mei 2011
Kamis, 26 Mei 2011
Nasib Para Pembatik (Pelestari Budaya yang Berupah Rendah)
Berdasarkan data Dinas Perindagkop & UMKM Kota Pekalongan, terdapat 612 unit usaha batik yang tersebar di 15 Kelurahan sentra batik (dari 47 Kelurahan) di Kota Pekalongan. Ratusan unit usaha tersebut menyerap tenaga kerja sebanyak 6.792 orang. Inilah yang menjadikan batik Kota Pekalongan sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada perajin kecil, bukan pada pengusaha dengan modal besar.
Pidato Obama Soal Hizbullah Ciptakan Pergolakan
Beirut (ANTARA News) - Seorang anggota parlemen Lebanon, Senin (23/5), mengatakan komentar Presiden AS Barack Obama baru-baru ini mengenai Hizbullah bertujuan menciptakan pergolakan di Lebanon.
Rabu, 25 Mei 2011
Web Kamus "Unggah-ungguhing" Bahasa Jawa Diciptakan
Bagaimana jika kamus bahasa Jawa berbasis web diciptakan secara lengkap? Pasti akan sangat membantu pelajar, ilmuan bahasa maupun pemerhati bahasa Jawa. Sigit Pambudi, mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Informatika Fakultas Teknik (FT) UNY angkatan 2007, berhasil menciptakan Kamus Bahasa Indonesia-Jawa berbasis Web dalam rangka penyusunan skripsinya.
Selasa, 24 Mei 2011
Falsafah Sumur
Dalam kebudayaan dan tradisi orang Jawa, ada tiga perkara yang perlu dihormati, yaitu: wong tuwa, guru, dan pepundhen (pimpinan). Ketiga orang tersebut sudah memberikan cahaya penerangan atau pepadhang bagi dunia ini, sudah mencerahkan orang Jawa dari kegelapan, dan sudah banyak pengorbanan yang mereka lakukan. Jika saja kita melupakan ketiganya, mereka bisa saja mengelus dada karena merasa disia-siakan.
Senin, 23 Mei 2011
Sebuah Hikmah Hari Ini (2)
Tulisan ini saya tulis karena tadi pagi merasa “jengkel” terhadap hewan yang bernama semut. Bagaimana tidak, segelas teh manis yang belum sempat diminum dan sepotong roti untuk sarapan ternyata sudah dikerubuti banyak semut. Tapi “kejengkelan” itu tidak berlangsung lama. Ternyata ada yang menarik didalam pikiran saya ketika mengamati perilaku si semut ini.
Pertama, dari segi cara mereka berjalan. Mereka hanya berjalan dengan “istiqomah” pada jalur tertentu yang sudah membentuk pola tertentu, padahal “jalan” untuk mereka berjalan sangatlah luas, tetapi mereka bisa berjalan secara bergiliran dan berurutan. Mereka tidak mau menyerobot antrian bahkan tidak mau mendahului semut yang ada di depannya. Berbeda sekali bukan dengan sikap dan perilaku makhluk Tuhan yang “merasa dirinya” paling sempurna di dunia, yang mungkin akan main serobot saja tanpa memperdulikan antrian didepannya? Astaghfirullah...
Kedua, dari segi mereka saling berpapasan. Setiap kali berpapasan dengan semut lain, entah kenal atau tidak si semut ini pasti akan menghentikan langkahnya sejenak untuk sekedar “bersalaman atau mengucapkan salam” dengan semut yang dijumpainya. Dan sayangnya, hal ini lagi-lagi jarang atau mungkin tidak kita lakukan, bahkan terhadap orang yang kita kenal sekalipun. Astaghfirullah...
Yang ketiga yang saya amati adalah cara mereka dalam mencari makan. Seandainya salah satu semut menemukan sumber makanan, tidak serta merta dia langsung memakannya sendiri, tetapi dia pulang terlebih dahulu ke sarangnya sambil meninggalkan “jejak” untuk mengajak teman koloni lainnya untuk ikut menikmati. Subhanallah.. Terima kasih ya Allah atas “pelajaran” yang Engkau berikan kepada hamba di hari ini. Semoga kami bisa meneladani dan mencontoh perilaku dari hewan yang bernama semut ini, amin...
Gambaran Kehidupan dari Serat Centhini
Hidup di dunia yang hanya sebentar ini, bermacam-macam cara orang yang menjalaninya. Banyak yang hidupnya hanya untuk memburu dan mengumpulkan harta dunia supaya bisa memperoleh kemuliaan, kesehahteraan, dan harumnya nama di dunia. Beraneka jalan, cara dan upaya dilalui supaya bisa merengkuh keinginan, tidak ingat akan dosa dan salah, ataupun merugikan negara dan kepentingan orang lain.
Golongan yang seperti ini disebut golongan “wong kang ngawulo dunyo” atau menjadi budak dunia. Sebaliknya dari golongan ini, ada sebagian orang yang secara istiqomah selalu beribadah menurut agama secara tekun dan selalu mengingat bahwa akan ada kehidupan lain yang kekal setelah kematian. Karena ketekunannya dalam beribadah, orang-orang seperti ini sampai tidak memperdulikan kehidupan di kanan-kirinya. Golongan ini disebut “wong kang ngawulo suwarga” atau orang yang berorientasi kepada surga.
Selain kedua golongan tersebut diatas, ada juga beberapa orang yang bisa “nglungguhake” semua permasalahan dalam kehidupan dalam posisi di tengah-tengah, artinya selalu beribadah tapi tidak lupa akan kewajibannya dan selalu menyebar kebaikan kepada orang lain. Yang dilakukan sehari-hari biasa disebut “laku tapa ngrame”, yaitu berbakti kepada sesama berlandaskan kepercayaan kepada Gusti Kang Maha Suci. Ketiga golongan ini bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Adapun kepada diri pribadi kita sumangga kersa dalam menilai kita masuk dalam golongan yang mana menurut perilaku kita sehari-hari, menurut tumindak dan pakarti kita masing-masing.
Serat Centhini telah memberikan gambaran tentang perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Gambaran ini diwujudkan dalam dongeng hewan yaitu uler jedhung, ula sawa, dan manuk urang-urangan. Ketiga hewan tersebut mempunyai cara hidup yang berbeda-beda yang bisa memberikan kita “kaca benggala” terhadap hidup manusia. Ketiganya bisa menjadi “dalil akal” bagi orang-orang yang mau mengasah landheping pikir anuju kasampurnan.
Yang pertama adalah kehidupan uler jedhung, dari lahir sampai dewasa yang namanya uler jedhung selalu mengumbar nafsu makan (nafsu lauwamah) tanpa peduli apa yang dimakan itu milik siapa, juga tidak peduli bahwa yang dia lakukan merugikan kaum petani. Sehari-harinya hanya makan dan makan sampai perutnya membuncit (rina pantaran ratri kang denudi muhung tuwuke wadhuk, mbledhunge padharan). Tetapi sisi positif dari contoh hewan ini, apabila sampai waktunya dia bertaubat, laku cegah dhahar lan guling atau berpuasa inilah yang kelak akan merubah dirinya menjadi enthung atau kepompong.
Dalam hitungan hari, si enthung ini akan menjadi kupu-kupu yang indah bentuk dan warnanya. Dari keindahan bentuk dan warna inilah akhirnya membuat banyak orang tertarik kepadanya. Para alim ulama sering mengambil proses metamorfosa ini sebagai perumpamaan dan pengingat bagi orang-orang yang masih ngawulo dunyo agar segera bertaubat. Kesimpulannya, “ngupadia laku prihatin amrih bisa malik wujud dadi makhluk kang endah ing warna”.
Gambaran yang kedua adalah ula sawa. Ula sawa termasuk ular yang mempunyai bisa mematikan. Hidupnya hanya untuk memamerkan dan mengandalkan kesaktiannya. Racun bisa yang diandalkan itu sangat berbahaya bagi makhluk lain. Selain racun bisa, wujudnya yang besar juga bisa membuat takut musuh-musuhnya. Begitulah gambaran hidup dari ula sawa, semakin lama hidupnya semakin nggegirisi wujudnya dan semakin ampuh bisanya.
Menurut siklus hidupnya, semua ular termasuk ula sawa akan mengalami proses nglungsungi atau ganti kulit. Akan tetapi walaupun sudah berganti kulit berkali-kali, si ula sawa ini tidak mengalami perubahan akhlak sedikitpun. Begitulah gambaran orang yang senantiasa mengagungkan dirinya dengan segala cara agar hidup mulia dan berkecukupan harta. Manusia semacam ini beranggapan seolah-olah akan hidup untuk selamanya, mengandalkan kemampuan dan kelebihannya. Tetapi sayangnya, nama besar, banyaknya harta, kemampuan dan kelebihan yang dimilikinya tidak mendatangkan berkah atau kebaikan bagi sesamanya. Seperti si ula sawa, matinya orang yang nyembah kamulyan donya seperti ini hanya akan meninggalkan bisa racun saja.
Yang terakhir, gambaran kehidupan dari manuk urang-urangan yang hidupnya diliputi kesederhanaan, dan tidak mempunyai daya kelebihan apa-apa. Setiap harinya burung ini hanya hinggap diranting atau dahan pohon yang tumbuh disekitar telaga, danau, atau sungai. Setiap hari selalu “meneliti” bulunya sendiri yang tumbuh disekujur badannya. Kalau bulunya terasa tidak rapi, cepat-cepat ditata agar terlihat rapi kembali. Manuk urang-urangan ini juga selalu bercermin dan introspeksi diri dari pantulan air bening yang berada di bawahnya. Hidupnya juga selalu terjaga agar bisa tertata. Bagaimana dengan cara dia mencari makan setiap harinya? Yang dicari hanyalah ikan atau udang secukupnya saja, tidak terlalu bernafsu untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya, tidak ngangsa dan ngaya karena hidupnya memang prasaja.
Gambaran kehidupan dari manuk urang-urangan ini setidaknya bisa menjadi cerminan bahwa hidup itu hanya seperlunya dan secukupnya saja. Dalam unen-unen Jawa dikatakan mungguh urip iku samadya wae. Tidak akan ada gunanya menuruti nafsu dunia dengan berlebih-lebihan, tidak ada artinya menjadi orang yang sakti kalau mempunyai pamrih pribadi, tidak ada gunanya menjadi orang kaya harta tapi hanya untuk menuruti nafsu angkara murka. Lebih baik didalam hidup kita bisa selalu bercermin diri (tansah ngilo marang githoke dhewe), tidak perlu mencari-cari kesalahan orang lain tapi tidak berusaha mencari kesalahan sendiri. Sebaliknya, kita harus terus introspeksi diri sebab pada kenyataannya masih banyak kekurangan dalam diri kita, dan jauh dari sempurna. Selain itu, dalam mencari harta dunia hanya secukupnya, seperlunya, dan sekuatnya saja (baca artikel tentang “Ajaran Ki Ageng Suryamentaram”). Jangan memaksakan diri apalagi sampai nyahak wewenanging liyan.
Semoga hidup kita (khususnya bagi diri penulis pribadi) bisa meniru pola hidup dari manuk urang-urangan yang senantiasa eling lan waspadha seperti digambarkan dalam Serat Centhini diatas. Perilaku hidup semacam itu dituangkan dalam sebuah lagu yang ditulis oleh KGPAA Mangku Negara IV, yaitu : “Mangkono ngelmu kang nyata.. Sanyatane mung weh reseping ati.. Bungah ingaran cubluk.. Sukeng tyas yen den ina.. Nora kaya Si Punggung anggung gumunggung.. Agungan sadina-dina.. Aja mengkono wong urip..”
*Sumber : berbagai macam sumber yang diolah
*Sumber : berbagai macam sumber yang diolah
Sabtu, 21 Mei 2011
Mereguk Mata Air Sabar 'Urwah bin Zubair
Abu Abdillah atau Urwah bin Zubair bin Al-Awwam adalah di antara sederet tabiin yang memiliki kucuran mata air hikmah untuk generasi umat sesudah beliau. Adik dari Abdullah bin Zubair ini memberikakan pelajaran tentang nilai sebuah kesabaran. Suatu hari cucu Abu Bakar Ash-shiddiq ini mendapat tugas untuk menemui khalifah Al-Walid bin ‘Abdil Malik di ibukota kekhalifahan, yaitu Damaskus di negeri Syam. Bersama dengan rombongan, ‘Urwah akan menempuh perjalanan dari Madinah menuju Damaskus yang saat ini menjadi negara Yordania.
Ketika melewati Wadil Qura, sebuah daerah yang belum jauh dari Madinah, telapak kaki kiri beliau terluka. Tabiin yang lahir pada tahun 23 Hijriyah ini menganggap biasa lukanya. Ternyata, luka tersebut menanah dan terus menjalar ke bagian atas kaki Urwah. Setibanya di istana Al-Walid, luka di kaki kiri Urwah tersebut sudah mulai membusuk hingga betis. Urwah pun mendapatkan pertolongan dari Khalifah Al-Walid yang memerintahkan sejumlah dokter untuk memberikan perawatan.
Setelah melalui beberapa pemeriksaan, para dokter yang memeriksa salah seorang murid dari Aisyah binti Abu Bakar ini mempunyai satu kesimpulan. Kaki kiri Urwah harus diamputasi, agar luka yang membusuk tidak terus menjalar ke tubuh. Urwah menerima keputusan tim dokter ini. Dan dimulailah operasi amputasi. Seorang dokter menyuguhkan Urwah semacam obat bius agar operasi amputasi tidak terasa sakit. Saat itu, Urwah menolak dengan halus.
Beliau mengatakan, “Aku tidak akan meminum suatu obat yang menghilangkan akalku sehingga aku tidak lagi mengenal Allah, walaupun untuk sesaat.” Mendengar itu, para dokter pun menjadi ragu untuk melakukan amputasi. Saat itu juga, Urwah mengatakan, “Silakan kalian potong kakiku. Selama kalian melakukan operasi, aku akan shalat agar sakitnya tidak sempat kurasakan.”
Mulailah tim dokter memotong kaki Urwah dengan gergaji. Selama proses operasi itu, tabiin yang bisa mengkhatamkan Alquran selama dua hari ini tampak khusyuk dan tegar. Tidak sedikit pun suara rintihan keluar dari mulut beliau. Melihat pengalaman yang tidak mengenakkan dari seorang cucu sahabat terkenal itu, khalifah Al-Walid menghampiri Urwah yang masih terbaring. Ia mencoba untuk menghibur.
Tapi, dengan senyum Urwah mengucapkan sebuah kalimat, “Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu. Sebelum ini, aku memiliki dua kaki dan dua tangan, kemudian Engkau ambil satu. Alhamdulillah, Engkau masih menyisakan yang lain. Dan walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku namun masa sehatku masih lebih panjang hari-hari sakit ini. Segala puji hanya untuk-Mu atas apa yang telah Engkau ambil, dan atas apa yang telah Engkau berikan kepadaku dari masa sehat.”
Mendengar itu, Khalifah Al-Walid bereaksi, “Belum pernah sekali pun aku melihat seorang tokoh yang kesabarannya seperti dia.” Beberapa saat setelah itu, tim dokter memperlihatkan potongan kaki yang diamputasi itu kepada Urwah. Melihat potongan kakinya, beliau mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui, tidak pernah sekalipun aku melangkahkan kakiku itu ke arah kemaksiatan.”
Ujian yang Allah berikan kepada Urwah tidak sampai di situ. Malam itu juga, bersamaan dengan telah selesainya operasi pemotongan kaki, Urwah mendapat kabar bahwa salah seorang putra beliau yang bernama Muhammad -putra kesayangannya- meninggal dunia. Muhammad meninggal karena sebuah kecelakaan: ditendang oleh kuda sewaktu sedang bermain-main di dalam kandang kuda.
Dalam keheningan malam itu, Urwah berucap pada dirinya sendiri, “Segala puji hanya milik Allah, dahulu aku memiliki tujuh orang anak, kemudian Engkau ambil satu dan masih Kau sisakan enam. Walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku, hari-hari sehatku masih lebih panjang dari masa pembaringan ini. Dan walaupun Engkau telah mengambil salah seorang anakku, sesungguhnya Engkau masih menyisakan enam yang lain.”
Kedekatan Urwah bin Zubair dengan doa kepada Allah memang sudah menjadi karakter dalam kehidupnya. Suatu kali, ia pernah mendapati seorang yang shalat kemudian berdoa dengan tampak tergesa-gesa. Urwah memberi nasihat kepada orang itu, “Wahai saudaraku, tidakkah engkau memiliki kebutuhan kepada Rabb-mu dalam shalatmu? Adapun aku, aku selalu meminta sesuatu kepada Allah, hingga jika aku menginginkan garam sekalipun.”
Selain doa, Urwah pun begitu dekat dengan Alquran. Sudah menjadi kebiasaan putera Asma bintu Abu Bakar ini membaca seperempat Alquran di siang hari, kemudian membaca seperempatnya lagi di saat shalat malam. Kebiasaan berlama-lama dalam shalat malam ini terus dilakukan hingga operasi amputasi yang ia alami. Karena sejak itu, ia tidak lagi bisa berdiri seperti sebelumnya. Walaupun ketika ia melakoni di antara kesibukannya di sebuah kebun, Urwah selalu dekat dengan Alquran. Setiap kali masuk kebun, ia selalu membaca surah Al-Kahfi ayat 39.
Allah berfirman,
وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ إِن تُرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا
Dan Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu ‘Maa syaa Allaah, laa quwwata illaa billaah’ (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap Aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (Al Kahfi: 39)
Seperti itulah di anta hikmah yang diajarkan Urwah bin Zubair. Sabar dan yakin terhadap ayat-ayat-Nya, merupakan kunci sukses seseorang meraih kepemimpinan di dalam agama ini. Sebuah kepemimpinan dalam mengarahkan umat kepada jalan yang lurus sesuai dengan rambu-rambu agama yang telah digariskan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sumber : http://www.facebook.com/photo.php?fbid=211483192216244&set=a.202641286433768.54006.100000636936773&type=1
Prajurit Pulang Perang
Alkisah seorang prajurit akhirnya berhasil kembali ke Jawa seusai perang Timor Timur. Ia menelepon kedua orang tuanya yang dari Surabaya. “Ayah dan ibu, aku pulang, tapi ada satu hal yang ingin kumohonkan. Saya ingin membawa seorang teman bersamaku.”
“Tentu ……..,” jawab orang tuanya, “kami akan senang menjumpainya”. “Tapi ada yang perlu ayah dan ibu ketahui,” kata sang putra meneruskan. “Ia terluka cukup parah ketika bertempur. Ia menginjakkan kakinya di atas ranjau darat dan kehilangan satu kaki dan tangannya. Kini ia tak tahu harus kemana, maka saya ingin membawanya bersamaku dan hidup bersama kita.”
“Saya sungguh menyesal mendengarnya, Nak. Barangkali kita bisa menolong menemukan tempat lain baginya untuk menghabiskan sisa hidupnya”.
“Tidak, aya dan ibu, saya ingin ia hidup bersama kita,” pinta sang anak tersebut.
“Anakku,” kata si ayah lagi, “kamu tidak akan mengerti permintaanmu sendiri. Seseorang dengan cacat seperti itu hanya akan menyusahkan hidup kita. Hidup kita sendiri pun masih susah dan harus kita urus sendiri, kita tidak boleh membiarkan hal seperti itu mengganggu ketenangan hidup kita. Saya pikir sebaiknya kamu langsung pulang saja, lupakan anak itu. Biarlah dia menemukan cara hidupnya sendiri.”
Seketika itu si anak meletakkan gagang teleponnya, dan orang tuanya tak lagi mendengar kabar berita darinya. Namun, beberapa hari kemudian mereka menerima telepon lain dari polisi Surabaya. Mereka dikabari: Anak merekan tewas terjatuh dari gedung bertingkat..! Sang polisi meyakini itu akibat tindak bunuh diri.
Sepasang orang tua yang berduka itu langsung terbang menuju Surabaya, dan diantar ke kamar jenazah untuk mengidentifikasi jasad anaknya. Mereka dengan jelas mengenali putranya. Tapi betapa terkejutnya mereka, jasad putra mereka adalah seorang pemuda dengan hanya sebelah tangan dan kaki.
Jumat, 20 Mei 2011
Kebersamaan Kami di Jalan-Mu
Betapa indahnya kebersamaan karena Allah, persaudaraan karena keimanan kita. Tali yang mengikat kita adalah kesatuan pemahaman dan kesamaan tujuan. Kebersamaan ini, yang pernah disinggung dalam beberapa sabda Rasulullah saw. Bahwa setiap muslim yang mengikhlaskan kecintaannya kepada saudaranya karena Allah, tanpa alasan lainnya, maka ia akan memperoleh pahala agung dan kerdhaan dari_nya. Allah Maha Besar… Bagi-Nya segala puji syukur sepenuh langit dan bumi, yang menuntun kita hingga di sini, sampai saat ini.
Saudaraku, dengarkanlah hadits-hadits dari kekasih Allah swt berikut ini, “sesungguhnya Allah berfirman di hari kiamat, “Di mana orang-orang yang saling mencintai karena Keagungan-Ku? Hari ini Aku naungi mereka dengan naungan-Ku di saat tak ada naungan lain kecuali naungan-Ku” (HR. Muslim). Pada kesempatan lain, Rasulullah saw mengatakan, “barangsiapa yang ingin mencicipi manisnya keimanan, hendaklah ia mencintai seseorang, yang tidak ia cintai kecuali karena Allah” (HR. Ahmad).
Dan dalam haditsnya yang lain beliau bersabda, “tidaklah seorang hamba Allah mencintai hamba Allah karena Allah, kecuali ia akan dimuliakan oleh Allah”. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang mendapat naungan-Nya di hari itu… Jangan bosan dan jangan berhenti untuk terus membersihkan diri, karena sebenarnya, disanalah inti kekuatan ikatan kebersamaan kita. Kekotoran hati akan membuat kebersamaan kita menjadi gersang dan mudah tersulut. Sementara kebersihan hati membuat kebersamaan ini menjadi sejuk dan semakin kuat.
Saudaraku, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pernah menyebutkan, ada orang yang diberikan Allah surga di dunia kemudian ia memiliki simpanan kenikmatan surga di akhirat. Mereka disebut oleh Ibnul Qayyim sebagai raja akhirat dan orang yang paling bahagia di dunia. “Mereka orang-orang yang hatinya memandang kefakiran menjadi kekayaan bersama Allah. Memandang kekayaan sebagai kefakiran tanpa Allah. Memandang kemuliaan menjadi kehinaan bersama Allah. Memandang siksaan sebagai kenikmatan bersama Allah. Ia tak melihat kehidupan sebagai kebaikan, kecuali bersama Allah. Sebaliknya, hidup menjadi kematian, kesedihan, kesengsaraan dan kegelisahan selama tidak bersama Allah. Inilah orang-orang yang mendapatkan dua surga. Surga dunia yang didahulukan, dan surga hari kiamat di akhirat” (Al Fawaid/252).
Ya Allah, saksikan kebersamaan kami bersama-Mu di jalan ini. Kuatkan kami untuk tidak bercerai-berai saat mengalami kelapangan dan kesenangan. Satukan kami ketika menghadapi kesempitan dan kesulitan. Kami ingin memiliki sifat seperti yang diucapkan utusan-Mu, pemimpin kami, Rasulullah saw, “selama Engkau tidak murka kepadaku, aku takkan pernah peduli apa pun yang akan aku alami”.
Jumat, 06 Mei 2011
Urip Mung Mampir Ngombe
Ocapan "Urip mung mampir ngombe" sudah dikenal masyarakat Jawa mulai dari wong agung sampai wong cilik pidak pedarakan-nya. Di satu sisi pocapan itu mengungkapkan posisi lemah manusia di hadapan Gusti Allah, di sisi lain, mewartakan keniscayaan manusia untuk terus berjuang guna menegakkan harkat dan martabat yang sejak lahir telah menjadi berkah dan amanah. Pocapan lain yang lebih khusyuk bila orang mengucapkannya yakni "sangkan-paraning dumadi". Dari mana manusia berasal ke mana dia pergi. Inna lillahi wa ina lillahi roji'un. Setiap manusia meninggalkan kehangatan surga dengan amanah: "memayu hayuning bawana", karena itu mereka mesti terus menerus "eling percaya, mituhu" kepada Tuhan, selalu berusaha untuk ngugemi "jumbuhing kawula-Gusti".
Inilah pralambang yang berkali-kali diungkapkan oleh para dalang ketika seorang ksatria sehabis bertapa pamit kepada gurunya untuk melaksanakan kewajiban kekesatriaan, menyelamatkan dunia. Adegan itu menjadi serius ketika guru, begawan, memberikan sangupangestu; dan menjadi penuh elan sukacita, ketika Semar, Gareng, Petruk, Bagong momong perjalanan tugas bendara-nya. Dalam adegan inilah komitmen satriya gung itu diungkapkan. Komitmen yang konsisten, kontinyu, konsekuen! Memang sih, ada adegan pamitan yang penuh aurora kesedihan, Damarwulan pamit mati, dan seperti ketika Damarwulan pamit Anjasmara untuk melaksanakan tugas memerangi Minakjinggo yang sakti mandraguna : "Anjasmara ari mami/ pun kakang pamit palastra".
Ringkas kata, metafora perjalanan sudah sangat akrab bagi orang Jawa untuk memahami pengalaman manusia dalam menempuh waktu; karenanya semua perbuatan mestilah "empan papan among mangsa", semua ada wayahnya masing-masing. Secerdik-cerdik pemimpin melompat sekali waktu jatuh juga "yen wis wayahe". Itulah yang terjadi pada Aa Gym yang "ilmu poligami"-nya sudah tinggi, atau Yahya Zaini dengan dhemenannya Maria Eva. Semua hanyalah momentuos. Momentum. Waktu, saat, seperti juga ujar Chairil Anwar, "Kalau sampai waktuku/ Kumau/ Tak seorang kan merayu...". Waktunya akan datang, seperti juga pada Bima setelah merambah hutan, menempuh lautan, mengapung setengah mati melawan naga, akhirnya datang juga pertolongan itu: Dewaruci!
Tidak semua orang seperti Bima yang "eling, percaya, mituhu" berjalan di jalan rahayu, tetapi adakah Indonesia (bisa) jadi perkecualian ketika manusianya pada nerak paliwara?!
Langganan:
Postingan (Atom)