Sabtu, 23 Juli 2011

Memburu Punggawa Praja lewat Laku Ngenger

Bagi sebagian orang Jawa kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang sangat agung. Mendapatkan derajat dan pangkat merupakan suatu kehormatan. Bahkan derajat dan pangkat apalagi yang ningrat dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting. Dalam bahasa Jawa dikenal istilah trahing kusuma rembesing madu turuning andana warih. Dengan sudut pandang yang demikian tak mengherankan jika menjadi pejabat atau punggawa praja (pegawai negara) merupakan idam-idaman setiap orang. Menjadi punggawa praja digunakan sebagai wujud aktualisasi diri.

Beragam cara dijalani untuk mendapatkan derajat. Ada yang melalui jalan kekerasan seperti Ken Arok. Tidak sedikit yang menjalani tirakatan dan laku prihatin. Banyak juga yang menempuh jalan damai lewat laku ngenger. Banyak cerita yang bisa dirujuk untuk menggambarkan kisah sukses laku ngenger dalam cerita rakyat Jawa. Sebut saja lakon Damarwulan Ngenger yang berakhir dengan kesuksesan besar sang pe-ngenger dicintai Anjasmara, putri Patih Logender tempat Damarwulan mengabdikan diri sebagai plekathik. Setelah berhasil menumpas pemberontakan Minak Jingga dari Blambangan, Damarwulan memboyong putri (Waeta dan Puyengan) sekaligus mempersunting raja putri Majapahit. Ini sebuah kisah keberhasilan seorang pengabdi bernasib mujur.

Tak jauh berbeda dari kisah Damarwulan Ngenger, kisah Jaka Tingkir juga menggambarkan hal serupa. Perjalanan Jaka Tingkir menduduki takhta Pajang sebagai Sultan Hadi Wijaya juga dimulai dari laku ngenger sebagai juru taman. Karena peran seorang putri Sultan Trenggana, Jaka Tingkir meraih jabatan lebih tinggi. Lewat liku-liku perjalanan yang panjang dicapailah takhta Pajang.

Kisah ngenger juga ditemukan di dunia wayang. Sebutlah lakon Sumantri Ngenger. Dalam kisah ini, Sumantri mencapai kedudukan tertinggi sebagai patih setelah diuji kemampuannya memindahkan Taman Sriwedari ke istana. Sumantri tidak melewati proses ngenger sebagaimana dialami Damarwulan dan Jaka Tingkir. Ia harus melewati uji kelayakan dan kepatutan untuk menjadi seorang patih. Sayang, saat memindahkan Taman Sriwedari, ia dibantu Sukrasana, adik Sumantri yang berwujud buta bajang. Ini mirip dengan perjokian pada alam modern.

Pengabdian Tulus

Kisah-kisah dalam wiracarita itu menunjukkan kepada kita bahwa laku ngenger menjadi jalan untuk pemerolehan jabatan. Ada dua sisi yang bisa kita soroti dari laku ngenger dalam tradisi Jawa. Yang pertama, aspek positif laku ngenger, yaitu pengabdian tulus setia yang harus diberikan dari seseorang yang menjalani. Kesetiaan atau ketulusan, keikhlasan, dan mengekang diri adalah sikap yang mutlak dikembangkan untuk menjalani proses pengabdian panjang.

Kesetiaan pada bendara adalah aspek pertama yang harus dikembangkan bagi seorang pe-ngenger. Seorang pengabdi yang baik harus loyal pada tugas yang diemban. Seorang Damar Wulan harus mau menjadi pencari rumput (plekathik) untuk memenuhi tugas mengabdi pada Patih Logender. Dalam menjalani laku ngenger ini ia harus tulus menjalankan tugas tanpa rasa penyesalan (tidak pernah nggrundel maupun nggresula). Setiap hari Damar Wulan akan bergulat dengan tugasnya memelihara kuda, berbasah keringat, dan tersengat panas terik mentari.

Seorang pe-ngenger juga harus ikhlas. Keikhlasan ini tak hanya menyangkut sikap menerima beban yang ditugaskan, tetapi juga menyangkut penghargaan yang diterima sekadarnya.

Yang terakhir, pe-ngenger juga harus bisa mengekang diri. Ia secara bulat menyerahkan harga diri untuk bendara. Tidak terlintas di dalam diri pe-ngenger untuk berbuat curang demi kepentingan diri sendiri maupun keluarga. Keinginan dan impian dalam dirinya ditekan sangat dalam-dalam sehingga bisa ia kesampingkan. Selain berbagai aspek positif itu, laku ngenger juga mempunyai sejumlah kelemahan. Beberapa kelemahan laku ngenger antara lain berupa semangat kemandirian dan kewirausahaan rendah, kehilangan kemerdekaan diri, dan ketidakpastian nasib. Meskipun secara nyata mereka tahu berbagai kelemahan ini, para pe-ngenger tetap saja menjalani laku ngenger demi mewujudkan cita-cita.

Kehilangan Kemerdekaan

Laku ngenger sebenarnya bisa dipandang sebagai tindakan remeh (hina) jika dilihat dari sudut pandang kewirausahaan. Orang bisa sukses menjalani hidup lewat berwirausaha seperti dijalani para perantau asal Wonogiri dan Sukoharjo yang berbekal pikulan dan tenggok untuk berjualan bakso dan jamu sampai ke seluruh pelosok nusantara.

Laku ngenger juga harus dijalani dengan merendahkan diri. Seorang pe-ngenger akan kehilangan kemerdekaan diri. Ia akan sangat berhati-hati menyikapi segala perkataan, sikap, dan tindakan dari juragan. Ia tidak berani berkata keras untuk mengungkapan kejengkelan hati. Seorang pe-ngenger akan berusaha terus menerus menyenangkan hati juragan sampai suatu ketika ia bisa mewujudkan impian mencapai posisi yang diinginkan. Beruntung kalau ia mendapat juragan baik. Kalau tidak, penderitaan batin akan ia alami sepanjang waktu.

Seorang pe-ngenger juga dihantui oleh ketidakjelasan nasib karena ia tidak bisa menentukan nasib sendiri. Kepasrahan yang penuh pada juragan berakibat pada ketidakmampuan seorang pe-ngenger untuk ikut ambil bagian dalam menentukan kejelasan nasib yang akan datang. Ia hanya bisa pasrah sambil berharap-harap cemas melongok hari esok yang tidak menentu. Ia menantikan belas kasihan dari sang juragan. Bahkan sebagian pe-ngenger sudah tidak punya hari esok. Ia tak akan berpikir bagaimana memperjuangkan masa depan. Yang ia punya hanya kemampuan bertahan hidup hari ini sambil dihantui kefrustrasian.

Tenaga Honorer

Pada zaman sekarang laku ngenger yang sesungguhnya seperti dialami oleh Damar Wulan, Jaka Tingkir, dan Jaka Sangsang sudah jarang ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Namun laku ngenger yang dimanifestasikan lewat ngenger ke pemerintahan masih banyak kita lihat di depan mata. Kini ketika pemerintah memberlakukan PP Nomor 48 tahun 2005 para pe-ngenger yang dikenal sebagai tenaga honorer, wiyata bakti, dan harian lepas memiliki harapan besar mewujudkan cita-cita mereka mejadi punggawa praja sambil berharap-harap cemas akankah impian indah itu menjadi kasunyatan? Waktu yang akan menentukan.

Seperti saya dan beberapa ratusan tenaga honorer (terutama di Pemerintah Kota Pekalongan yang mempunyai SK Walikota atau yang disebut dengan honorer APBD), sangat berharap agar pengangkatan honorer ini tidak berlarut-larut. Sebagian dari mereka adalah honorer yang teranulir dari formasi tahun 2005 hanya gara-gara TMT bukan per 1 Januari 2005. Saya dan mereka notabene juga mempunyai tugas dan tanggung jawab seperti layaknya PNS lain. Semoga artikel ini bisa menjadi pertimbangan dari Pemerintah Kota Pekalongan untuk menuntaskan "sisa honorer" yang ada.



Sumber : harian Suara Merdeka yang diolah