Sabtu, 17 September 2011

Mahambeg Adil Paramarta

Orang-orang tua dalam masyarakat Jawa masih mengingat sebuah cara mengatasi pepohonan yang tidak berbuah. Bukan dengan pupuk atau obat-obatan pertanian melainkan dengan ngelmu ketanen. Bila pohon petai tidak kunjung berbuah misalnya, maka si empunya akan menngikatkan sebuah kukusan rusak pada batang pohon itu sambil memberinya jawab atau kata-kata bertuah: He pohon petai, engkau boleh memilih; berbuah lebat dan akan kubiarkan hidup, atau tidak berbuah dan engkau akan kutebang dan batangmu akan kujadikan penutup lahat kuburan penghulu zaman akhir. Kemudian dipukullah pohon petai itu tiga kali. Dan karena tidak mau menjadi penutup liang lahat penghulu zaman akhir, konon si pohon memilih berbuah lebat pada musim berikut.

Berkat kemajuan zaman ngelmu ketanen itu mungkin sudah tidak lagi dijalankan lagi. Namun demikian masih ada yang menarik yakni jawab atau kata-kata yang dipercaya bertuah itu. Agar mau berbuah maka sebuah pohon diancam akan dijadikan penutup lahat kuburan penghulu zaman akhir. Jadi ada apa dengan pengulu zaman akhir? 

Sekarang ini penghulu adalah kepala Kantor Urusan Agama atau pegawai pencatat nikah. Namun dalam kaitan dengan kata-kata bertuah tadi, penghulu adalah hakim dan para penegak hukum lainnya. Maka pertanyaan tadi berubah menjadi; Ada apa dengan penegak hukum pada zaman sekarang sehingga pohon pun tak mau menjadi penutup liang lahatnya? Dalam kerangka ngelmu ketanen tadi konon penegak hukum pada zaman akhir telah kehilangan hak atas martabat dan kehormatan karena banyak di antara mereka suka memperdagangkan hukum. Demikian rendah martabat dan kehormatan mereka sehingga -kalau bisa memilih- tak ada pohon kayu yang mau dijadikan penutup mayatnya.

Dan itulah keadilan bagi penegak hukum yang nakal menurut keyakinan orang Jawa, yakni keadilan yang tidak nyata dan hanya bersifat post-mortum. Rupanya orang Jawa sejak dulu tidak punya tradisi menghukum para penegak hukum yang bersalah secara nyata. Bila punya tradisi semacam itu barangkali kata-kata bertuah tadi akan berbunyi: ...engkau akan kutebang dan batangmu akan kujadikan tiang penggantung penghulu zaman akhir.

Tentang tidak adanya tradisi menghukum para penegak secara nyata terlihat pula dalam beberapa ungkapan yang dikenal sebagai kearifan lokal Jawa misalnya, Sapa nandur mesthi ngundhuh. Atau, Trima sing nglakoni ora trima sing momongi (Orang yang terzalimi mungkin diam, tapi Tuhan yang akan membalaskan hukumannya). Atau lagi, Becik ketitik ala ketara. Semua ungkapan tadi mengandaikan keadilan pasti akan tegak meskipun tidak harus melalui proses hukum positif dan baru berlaku entah kapan.

Sebagai keyakinan hal itu baik-baik saja. Namun pertanyaannya adalah, mengapa masyarakat Jawa sampai punya keyakinan seperti itu. Bila direnungkan jawaban atas pertanyaan itu adalah ketidakberdayaan masyarakat dalam hal menuntut keadilan yang nyata. Dalam tradisi masa lalu keadilan belum diyakini sebagai hak masyarakat karena keadilan, juga hukum, adalah bagian dari kekuasaan. Memang, masyarakat Jawa punya ungkapan ideal tentang kekuasaan yang adil. Ideal itu tersirat dalam ungkapan ratu gung binathara, adil para marta. Namun adicita (ideal) tetaplah tinggal adicita. Sementara kekuasaan adalah kekuasaan; dia akan bergerak menuruti logikanya sendiri dan menjadi liar bila tidak ada mekanisme penyeimbangan yang efektif.

Rupanya itulah yang masih terjadi pada era sekarang ini. Masih seperti pada masa kerajaan, hukum menjadi bagian dan alat kekuasaan. Oleh karena itu banyak penegaknya merasa memegang kekuasaan atas hukum sehingga hukum sebagai sarana mencapai keadilan bisa mereka perlakukan menjadi komoditas. Banyak penegak yang memperdagangkan hukum karena mereka merasa keadilan adalah buahnya hukum yang berada dalam kekuasaan mereka. Karena berada dalam kekuasaan, mereka bisa memperlakukan hukum semau mereka. Dan keadilan yang sebenarnya merupakan hak asasi masyarakat dan harus dicapai melalui proses hukum jadi sangat direlatifkan oleh kepentingan kekuasaan (dan tentu saja politik).

Sebenarnya upaya membebaskan hukum dari kepentingan kekuasaan dan politik sudah dilakukan. Lahir nya UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan maupun Polri adalah upaya yang dimaksud. Namun seringkali undang-undang dikalahkan oleh kultur. Dan nyatanya masih terkesan dengan sangat bahwa hukum di negeri ini masih terpenjara oleh kepentingan kekuasaan. Akibatnya keadilan pun digantungkan di sana, di tangan orang yang merasa memegang kekuasaan atas hukum. Bahkan keadilan sering digantungan pada sesuatu yang impersonal yakni kepentingan. Maka di tengah masyarakat lahir ungkapan-ungkapan yang lucu tapi perih dirasakan. Misalnya, "Jangan berurusan dengan pengadilan kalau tidak ingin kelangan sapi nyusul kandhange." Atau, "Jangan laporkan kasus pencurian ini kepada polisi atau jaksa kalau kamu tidak ingin repot, ilang bebek ilang meri.

Apakah ironisme itu lahir dari pengalaman nyata? Jangan-jangan ya. Kalau begitu ungkapan-ungkapan lama yang mengawali tulisan ini terpaksa harus direlevankan kembali. Artinya, biarlah ketidakadilan terus terjadi, toh mereka yang menjual hukum, berdagang perkara, menganggap pasal-pasal dalam undang-undang sebagai komoditas akan diadili sendiri oleh Tuhan. Kalau tidak sekarang ya kelak. Angger ora ketemu neng awak bakal ketemu neng anak, kata orang Banyumas. Artinya, anak-anak para mafia hukum dalam segala bentuk maupun manifestasinya, dari pusat sampai ke tingkat yang paling rendah bakal menderita karena ulah ayah mereka. Dan percaya atau tidak, bahkan pohon pun tak sudi menjadi penutup liang lahat kuburannya. Itu kata seorang pemilik pohon petai. Jadi bagaimana dengan adicita adil para parta yang dikenal sejak lama? Ya, dari dulu adicita itu hanyalah adicita yang belum membumi. Kini pun.