Rabu, 30 November 2011

Tobat Kapok Lombok

Sekalipun Anda yakin tidak bersalah, tapi jika sudah demikian kepepet, tak ada salahnya untuk menggunakan siasat yang satu ini: tobat. Sementara, abaikan dulu contoh yang telah diberikan oleh Syekh Siti Jenar. Toh untuk self mechanism defense macam ini ada yang dinamakan kapok-kapok lombok. Ngakunya kapok, kelihatannya tobat, tapi kapan-kapan bisa kumat.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tobat itu artinya sadar dan menyesal akan dosanya (perbuatan yang salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatannya. Bisa pula berarti kembali kepada agama (jalan, hal) yang benar, atau bahkan merasa tak sanggup lagi.

Namun sebagai kata seru, tobat bisa untuk menyatakan rasa heran, kesal, atau sebal. Adapun dalam ragam cakap, tobat berarti jera (tidak akan berbuat lagi). Nah, arti yang disebut terakhir inilah yang paling dekat dengan kapok. Sebab, sebagaimana dalam kamus itu juga, kapok berarti sudah tidak akan berbuat lagi.

Tapi nanti dulu. Kapok itu juga tidak sekadar kapok. Ada yang disebut kapok lombok. Ketika makan dan sambal yang menyertai kelewat pedas akibat lombok rawitnya yang "ganas", tak jarang serta merta orang akan bilang kapok. Apalagi jika pagi harinya terketahui mesti bolak-balik ke kamar kecil atau setidak-tidaknya bagian pelepasan terasa pedih-panas. Maka, kontan akan bilang kapok, "Nggak lagi-lagi, ah."

Itulah kapok jenis kapok lombok. Tobat sambal, idiom lainnya. Lombok memang bisa serta merta bikin orang kapok lantaran pedasnya. Tapi karena itu pula, orang sanantiasa tergiur untuk mengulangi lagi guna merasakan kenikmatan yang ditimbulkan oleh pedasnya lombok. Tak peduli lagi bahwa sebentar saja lambung bisa panas karenanya dan "petaka" bakal segera membuntuti di kamar kecil.

Jika untuk urusan lombok "saja" demikian susahnya orang untuk diajak kapok, apakah untuk perkara yang jauh lebih besar, penting, dan substansial, orang akan dengan mudah diajak bertobat? Kalaupun mulut mengikrarkan sebuah pertobatan, lantaran ada kekuatan di luar dirinya yang tak mungkin untuk dilawan, bukankah tidak selalu hati dan pikiran yang tak terkatakan itu mengamini? Jadi, bisakah sebuah pertobatan bermula dari sebuah tekanan, lebih-lebih fisik sifatnya? Jangan-jangan, itu hanya akan memantik sikap merong kampuh jingga mbeguguk ngutha waton, sebentuk perlawanan terselubung, atau malah menjadi laten bagi potensi kapok-kapok lombok?

Memang dalam term agama ada jenis tobat yang paling afdal, yaitu taubat nasukha, yakni menyesal atas dosanya dan berjanji benar-benar tidak akan mengulangi. Namun marilah sekarang kita menyimak kembali penggalan kisah Syekh Siti Jenar. 

Syekh Siti Jenar 

Di tengah-tengah makin mantapnya kekuatan kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak Bintoro, yang disangga oleh para wali (Wali Sangha), tiba-tiba muncul sosok Syekh Siti Jenar.

Kemunculannya sungguh-sungguh jadi pemantik kontroversi, baik dalam dimensi politik-kenegaraan maupun ñterutamaódalam dimensi teologis. Dalam frame tata keprajan, ajarannya yang makin hari kian meluas coverage area-nya itu, tidak saja membuat para kawula makin apatis terhadap sultannya, tetapi juga ibarat "geni munggwing rampak" bagi sebuah takhta. Sementara dalam dimensi teologis, ajaran Siti Jenar yang berporos pada paham wihdatul wujud, jelas-jelas menjadi ancaman paling nyata bagi praksis syariat yang dikembangkan oleh para wali.

Maka, sidang para wali, yang ditopang sepenuhnya oleh pemegang pucuk pemerintahan Bintoro Demak, memvonis tingkah laku keagaman Siti Jenar adalah menyimpang, sesat, dan menyesatkan banyak orang. Tindakan yang dilakukan oleh Siti Jenar adalah kriminal, subversif. Dan untuk setiap yang kriminal, yang subversif, hukuman matilah sebagai ganjarannya, kecuali sang pelaku mau bertobat.

Berbekal stigmatisasi dan siasat kriminalisasi terhadap praksis teologis yang dikembangkan oleh Siti Jenar, tim khusus dewan wali pun bertindak. Sunan Tembayat dan Syekh Dumba datang untuk menjemput, namun Siti Jenar tetap bergeming. Karena itu, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Modang, dan Geseng Sunan menjadi duta pamungkas dewan wali.

Alih-alih bertobat, sebagaimana yang dikehendaki para wali, Siti Jenar justru istikamah dengan keyakinannya. Dia malahan merelakan diri untuk "urip sajroning pati" -satu hal yang sejalan dengan target para wali dan Sri Narendra Bintoro. Dan demi makin menambah stigma kesesatan pada Siti Jenar, dikabarkanlah bahwa kepalanya telah menjelma dalam wujud kepala anjing.
Namun semua itu tak menyurutkan keteguhan para muridnya. Ki Bisono, Lonthang Semarang, dan Kebokenongo tetap saja mengikuti garis yang telah ditorehkan oleh Siti Jenar. Boleh jadi karena penolakannya untuk bertobat, apalagi jika itu sekadar siasat pertahanan diri, Siti Jenar tak pernah tenggelam oleh arus zaman.

Tak cuma Syekh Siti Jenar serta sejumlah muridnya yang menolak bertobat sekalipun berada di bawah tekanan kekuasaan Negara maupun pemegang otoritas keagamaan pada zamannya. Namun karena itu pula, nasibnya juga tak jauh-jauh beda. Ada Sunan Panggung yang di bawah Sultan Demak dihukum bakar, Ki Bagdad dari Pajang yang ditenggelamkan ke sungai, dan Syekh Amongraga yang di bawah Sultan Agung ditenggelamkan di laut.

Boleh jadi dengan referensi itulah, Ketib Anom dari Kudus kemudian mengusulkan hukuman dibakar hidup-hidup untuk "kriminal" yang dilakukan oleh Kiai Mutamakim sebagaimana dalam Serat Cebolek.

Sekadar untuk diketahui, serat itu mengisahkan Kiai Mutamakkin, seorang kiai mistik pengikut paham wahdatul wujud. Sebagaimana Siti Jenar, kehadiran kiai dengan segenap praksis teologisnya dianggap sebagai "gangguan" oleh penguasa resmi di Keraton Surakarta, yang diwakili Ketib Anom. Terjadilah pengadilan atas diri Kiai Mutamakkin atau Kiai Cebolek yang berujung pada taget "pertobatan" itu.

Dari kisah-kisah itu, tampak bahwa tak seluruhnya represi demi target membuat tobat secara verbal terhadap mereka yang dianggap sesat, akan berujung pada penyelesaian sampai pada akan permasalahan. Justru tak jarang justru pertobatan semu, tobat abang-abang lambe, atau kapok-kapok lombok itu tadi. Tobat sekadar sebagai mekanisme pertahanan diri. Bukankah dalam perang-perangan di antara anak kecil, tatkala ada yang teringkus, masih ada tawaran untuk meneruskan atau tidak pertarungan itu dari yang berada "di atas angin" dengan berucap, "Kapok, ora?!"

Yang teringkus akan diam jika masih tahan atau berpengharapan dapat membalikkan suasana. Namun jika ia sudah menyerah, akan berseru, "Kapok!"
Belum selesai, sebab calon pemenang masih mengejar dengan pertanyaan "Kapok apa? Kapok lombok? Lombok pira? Lombong abang apa lombok ijo?







(Suara Merdeka)