Ungkapan "cicak nguntal cagak" biasanya di identikan untuk seseorang yang terlau mempunyai keingininan yang sangat tinggi tanpa melihat kemampuannya. Kondisi seperti itu sekarang menjadi hal yang tidak asing di mata kita. Apalagi dengan keadaan lingkungan yang semakin carut marut, ditambah dengan semakin banyaknnya faktor kesenjangan sosial di dalam diri masyarakat.
Keinginan yang terlalu menggebu-gebu tanpa melihat kemampuan diri sendiri, pada akhirnya akan menuntun individu tersebut ke jurang kesesatan. Antara lain, ia akan memakai jalan pintas untuk segera memuaskan nafsu keinginannya. 'Merdukun', itu sudah menjadi kewajaran kepada individu yang ingin mendapatkan keinginannya cepat terkabul, tapi tak sedikit pula yang 'gagal'.
Cecak atau dalam bahasa Indonesia disebut cicak adalah binatang kecil yang sering terlihat merayap-rayap di dinding rumah. Seperti lagu dimasa kecil dulu. Cagak dalam bahasa Indonesia disebut pasak, sebuah benda mati yang berukuran besar. Bahkan lebih besar daripada tiang kalo kata peribahasa.
Orang yang mempunyai cita-cita harus berani melangkah, karena tercapainya keinginan kita hanya bisa terwujud kalau dijalani dan tidak menyimpang dari tekad kita. Keinginan dan niat, waktu dan doa, semisal orang bepergian harus ditujukan kepada tempat yang akan kita datangi. Keinginan harus punya pengawal. Adapun pengawalnya adalah 'nalar', atau otak. Karena keinginan tanpa 'nalar' ibarat keinginan anak kecil.
Selain tanpa makna juga tanpa tujuan, hasilnya tidak tercapai. Masalahnya banyak orang mengejar sesuatu tanpa menggunakan nalar yang dapat diartikan akal sehat. Drajat, semat dan kramat dikejar tanpa deduga, prayoga, watara dan reringa maupun dengan perancanaan yang mengikuti pola Tata, titi, tatas, titis. Banyak pitutur Jawa mengingatkan supaya manusia hidup narima ing pandum 'sakmadya' saja atau secukupnya saja.
Pitutur Jawa melalui pupuh Dhandanggula mengingatkan “eling eling pra kadang den eling, uripira ing donya tan lama, bebasan mung mampir ngombe, cinecep nulya wangsul, mring asale sangkane nguni, begja yang wus pana, sangkan paranipun, dedalan kang den ambah, mrih rahayu lumampah margi utami, sejatining kasidan”.
Maksudnya adalah ingatlah sahabat ingatlah selalu, hidupmu di dunia tidaklah lama, ibarat hanya mampir untuk minum, selesai minum langsung pulang, ketempat asal-usulmu, beruntunglah yang sudah paham, asal usul kita, jalan yang harus ditempuh, supaya selamat menapaki jalan yang utama, menuju kehidupan abadi.
Keluhuran nilai yang terkandung dalam pitutur Jawa tersebut merupakan sebuah kunci, bagaimana kita dapat menjadi lakon yang berhasil dalam kehidupan ini. Oleh karena itu kita harus pandai-pandai melihat, mengukur dan menimbang seberapa kemampuan kita agar semua yang kita harapkan dapat terlaksana sesuai dengan yang diinginkan. Berarti untuk melakukan sesuatu haruslah kita pertimbangkan dengan kemampuan yang kita miliki, jangan sampai terlalu dipaksakan yang pada akhirnya semua akan berhenti ditengah jalan.