Senin, 15 Oktober 2012

Eneng, Ening, Enung

Ketenangan menjadi prioritas yang tak bisa lagi digugat. Di tengah hiruk-pikuk duniawi, orang sering lupa jati diri. Ketika kegelisahan menghampiri, beragam cara dilakukan supaya tenang, antara lain dengan laku eneng, ening, enung. Lara lapa adalah unsur batin dalam hati yang ingin bersujud kepada Sang Pencipta.

Bagaimana langkah menuju keheningan lewat eneng (diam), ening (menjernihkan pikiran), dan enung (merenung) serta mawas diri untuk mencapai dunung (paham, sadar)? Ketika ada pertanyaan, misalnya, apa tujuan puasa, orang sering menjawab ingin bahagia. Orang lazim melakukan olah prihatin lewat lara lapa karena ada keinginan dalam hati. Lara lapa bukan berarti menyakiti diri sendiri atau menjadikan diri sengsara, melainkan tirakat sebagai salah satu bagian untuk mewujudkan kearifan.

Dalam laku Jawa, ada istilah merendahkan diri di hadapan Yang Maha Agung. Misalnya, merasakan apa yang tak biasa dilakukan kebanyakan orang. Itu sebagai sarana mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Ada ungkapan: pintere den dokok wingking bodhone den ayunke (kepandaian disembunyikan, kebodohan ditunjukkan). Srawung Jawa mengedepankan tan hanggunggung diri (tidak menyombongkan diri) dan lembah manah (sabar). Istilah-istilah itu bukan berarti menunjukkan orang Jawa bodoh, tak tahu apa-apa. Namun menempatkan lara lapa ke posisi untuk menata jiwa nggayuh kamulyan.

Menemukan jati diri lewat lara lapa untuk menata olah cipta agar pikiran eneng. Dengan kejernihan pikiran, muncul keinginan dalam hati untuk berbuat baik. Dua hal itu yang memengaruhi rasa setiap insan. Disebutkan macapat karya Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh pupuh kinanthi: dadiya lakunireku/cegah dhahar lawan guling/lan aja kasukan sukan/anganggoa sawatawis/ala wateke wong suka/nyuda prayitna ing batin.

Artinya: jadikanlah lakumu itu, dengan mengurangi makan dan tidur, dan jangan berfoya-foya, kesederhanaan lebih utama, jelek watak orang yang berfoyafoya, akan mengurangi ketajaman batin. Untuk mencapai tataran ening, salah satu cara adalah toriq (tirakat) atau mranata budi nggesangake jiwa (menata hati menghidupkan jiwa). Laku sedemikian itu bukan hanya mengasah kecerdasan otak, melainkan menempa ketajaman batin.

Keyakinan menata cipta dan hati kepada Pencipta Kehidupan, dengan menaati guru menyatu dengan badan menjalankan laku suci ditunjukkan oleh Werkudara. Werkudara dengan penuh keyakinan, lewat lara lapa, menjalankan perintah Mahaguru Resi Drona untuk mencari galih kangkung susuhing angin di Gunung Reksamuka. Dia menjalankan perintah dengan keyakinan dan membuahkan hasil, walau sang mahaguru tak tahu apa yang terjadi pada sang murid.

Werkudara bertemu Batara Indra dan Batara Bayu. Kedua dewa itu mewejang makna galih kangkung susuhing angin. Juga menghadiahkan cicin mustika Manik Candrama yang bisa digunakan masuk ke samudra tanpa kesulitan. Werkudara masuk hutan, membebaskan raksasa penunggu hutan dari hukuman.

Dia memperoleh petunjuk tentang tirta pawitra sari, air kehidupan. Lalu, dia masuk ke dalam samudra, setelah mohon restu dari sang ibu Kunti Talibrata dan semua saudara. Restu semua orang terdekat itu membuat
Werkudara eneng, ening, enung, dan menemukan apa yang dia cari. Ya, di kedalaman samudra dia mendapat wejangan kehidupan serta kedamaian jiwa hingga tataran makrifat dari Dewa Ruci — yang sejatinya adalah dirinya
sendiri.


Laku spiritual untuk mencari keheningan antara lain juga ditempuh orang lewat kungkum. Kungkum menjadi sarana mencapai enenging budi lan pamanggih dalam diri dan perbuatan. Juga sarana pengendalian dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Olah itu menjadikan orang makin arif memandang masalah; bukan hanya menyalahkan dan menghakimi secara sepihak.

Olah budi berbeda dari olah pikir. Pencapaian olah budi adalah pencerahan. Eneng untuk menciptakan ening, sehingga terwujud enung adalah proses olah batin yang secara bertahap menempa kejiwaan. Bukan sekadar olah pikir. Dan lara lapa adalah realitas dalam menjalankan kodrat, yang tercermin dalam ungkapan bisa-a rumangsa, ora rumangsa bisa, bisa membedakan mana benar dan mana salah.

Widodo, pemerhati budaya dan pegiat Sanggar Seni Paramesthi