Kamis, 11 Oktober 2012

Biar Tak Sampai Dhupak Kuli

Banyak hal yang bisa ditafsirkan dari perilaku seseorang. Dari senyum (esem), perkataan, hingga tindakan, semua merujuk ke keinginan untuk tak sekedar memberi pesan. Namun memberikan keteladanan tingkat lanjut yang mencerminkan stratifikasi dalam mengungkapkan kritik.

Esem bupati, semu mantri, dhupak kuli adalah tahapan bagi orang Jawa biasa berperilaku. Orang hendaknya dapat menangkap maksud di balik senyum seseorang. Senyum yang diyakini sebagai tataran bahasa tubuh paling tersamar. Bisa senyum mengejek, tanda puas, atau malah tanda kekecewaan. Orang yang mampu melakukan itu berkemampuan esem bupati - pangkat tinggi pada masa kekuasaan raja Jawa. Orang yang paham esem berarti tanggap ing sasmita.

Pada tataran semu mantri, seseorang harus diberi pasemon. Perintah atau sindiran disamarkan menjadi moda ungkap untuk "memaksa" seseorang segera mengerjakan sesuatu. Kehidupan masyarakat Jawa memang mengajarkan untuk selalu mengedepankan rasa-pangarsa. Semua terbungkus dalam ranah bener-pener, genep-genah.

Tahap paling rendah, dhupak kuli, yang menggambarkan seseorang harus didhupak agar mengerti. Ya, dhupak yang berarti menendang, disandingkan dengan kuli yang (maaf) bermakna pekerja rendahan. Kuli terbiasa diperintah dengan penuh kejelasan adalah gambaran orang yang tidak tanggap ing sasmita. Harus ada penjelasan secara blak-blakan, karena mereka belum mengetahui maksud lawan bicara.

Dhupak kuli bukan tanpa sebab. Pengetahuan dan tingkat pendidikan mereka kebanyakan tak memungkinkan untuk mengetahui sindiran, pasemon, hingga esem sebagai kritik simbolik. Tataran itu tak jarang pula dikaitkan dengan kaum muda. Karena belum banyak pengalaman dan kurang ngudi rasa-pangarsa, mereka sering dikatakan durung nJawa.

Berbuat khidmat dengan esem bupati yang kasat mata sebenarnya dapat dipelajari dan dilakukan. Namun yang jadi penghambat, kini manusia makin sulit mempelajari hal-hal abstrak atau bersifat metafisika-supernatural. Sebab semua itu mensyaratkan pelaksanaan lewat laku, sehingga tak mudah bagi setiap orang. Setidaknya itulah yang dikemukakan Soetrisno HP dalam Prinsip Ekonomi dalam Kebudayaan Jawa (1992).

Soetrisno mengemukakan untuk mempelajari dan melaksanakan hal itu butuh persyaratan atau laku tertentu, seperti tapa brata, nglakoni, cegah dhahar lawan guling. Semua itu tanpa pamrih, datan mangan wohing dami kinukus.

Di sisi lain, orang yang telah dewasa dan wong pinter adalah orang-orang yang menonjol dalam penggunaan perasaan dalam memberikan pertimbangan atau dalam bekerja. Tanggap rasa, lantip ing panggraita, sinamuning samudana sesadoning adu manis adalah beberapa contoh penggunaan perasaan. Tentu tanpa mengesampingkan penggunaan akal sehat. Pengaruh kebudayaan Barat akan mendapatkan penilaian negatif bila mengesampingkan penggunaan perasaan, meski telah menggunakan akal secara lebih baik dan cermat.

Tinggi rendah martabat seseorang di masyarakat Jawa sangat ditentukan oleh tinggi rendah penggunaan perasaan. Kategori esem bupati, semu mantri, dhupak kuli mencerminkan tinggi rendah martabat seseorang dalam penggunaan perasaan.

Merujuk hal itu, semua potensi jiwa manusia Jawa membutuhkan pengembangan olah cipta, rasa, dan karsa. Pada tingkat paling rendah - dhupak bujang - potensi karsa merupakan potensi jiwa yang berkembang sangat dominan. Tingkat itu secara sederhana digambarkan dengan istilah remaja putra; segala kemauan harus dituruti, tanpa memperhatikan kegunaan, kemampuan, atau lingkungan.

Tingkat kedua akil balig, dengan penggunaan akal mulai menonjol. Pertimbangan baik-buruk, untung-rugi, berfaedah-tak berfaedah, maju-mundur sudah makin berperan. Namun pada tingkat ini, seseorang sangat rentan pengaruh lingkungan. Inilah tahap semu mantri.

Tingkat ketiga ketika penggunaan perasaan sudah nampak; istilah paling tepat: nggone rasa. Unsur perasaan seperti tanggap rasa sudah dominan dalam kehidupan sehari-hari. Diungkapkan pula, wong Jawa nggone semu, sinamun ing samudana (tertutup kata-kata tersamar), sesadone adu manis, menghadapi masalah apapun selalu dengan muka manis. Itulah tahap esem bupati.

Selain itu, ada hal penting dari ungkapan kekecewaan. Kritik selalu muncul di masyarakat, jauh sebelum mereka bertindak dan bersuara kasar untuk melawan sesuatu. Jika seseorang, terutama pemimpin, lantip ing panggraita, selalu tahu dan tanggap akan gejolak di masyarakat, itu tak akan terjadi. Maka bila muncul kritik dan perlawanan dimana-mana, lewat cara-cara keras dan kasar, seperti menjelek-jelekkan dan menghujat - layaknya dhupak kuli - itu berarti sang pemimpin dianggap buta: tak memahami tanda-tanda simbolik.

Melalui teks tembang macapat Megatruh, leluhur orang Jawa sudah mengingatkan agar kita selalu berbicara dengan tutur kata manis dan selalu tersenyum ketika menghadapi berbagai persoalan. Itulah cermin diri pribadi bagi orang yang punya banyak pengetahuan: Mangka nyata wicarane sepet madu/ sesadone adu manis/ memanise yen gumuyu/ ayu rahayuning dhiri/ widagda nganggit lelakon.

Dhoni Zustiyantoro