Kamis, 11 Oktober 2012

Simbolisme Perkawinan Jawa

Perkawinan Jawa merupakan budaya warisan yang sarat makna. Karena itu, perkembangan kebudayaan Jawa merupakan keniscayaan yang menarik diamati. Sebab dalam paradigma masyarakat Jawa, perkawinan bukan sebatas proses legalisasi hubungan antara laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu, perkawinan merupakan penyatuan dua keluarga yang didasari unsur pelestarian tradisi. Karena itu, masyarakat Jawa sering menggunakan beragam pertimbangan, dari bibit (latar belakang keluarga yang baik), bebet (mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga), dan bobot (berkualitas, bermental baik, bertanggung jawab, dan berpendidikan cukup).

Dalam setahun, misalnya, kita kerap menghadiri undangan perkawinan teman, relasi, atau kerabat yang semua orang Jawa. Namun hampir semua menggunakan konsep resepsi yang mencitrakan manusia modern: standing party, yang didesain event organizer. Jarang sekali ditampilkan tradisi, baik berupa simbol maupun upacara yang dianggap sakral dari adat Jawa.

Sebelum upacara perkawinan digelar, biasanya didatangkan pemaes (juru rias pengantin tradisional). Tugasnya tidak sekedar merias, tetapi juga menjelaskan beragam ritual penting dan pernak-pernik (simbol-imbol) yang mesti dipersiapkan. Meski semua itu bukan kewajiban, bagi masyarakat Jawa tradisi tersebut mempunyai makna filosofis dan pesan penting yang tak boleh ditinggalkan.

Di halaman rumah calon pengantin wanita atau gedung tempat resepsi, misalnya, biasanya dibuat gapura dengan hiasan tarub terdiri atas berbagai tuwuhan, yaitu tanaman dan dedaunan yang punya arti simbolis. Ambil contoh, pohon pisang yang berbuah masak menyimbolkan suami yang menjadi kepala keluarga diharapkan mampu membawa keluarga baru beradaptasi dengan lingkungan dengan baik, rukun, dan langgeng hingga akhir hayat. Itu seperti gambaran pohon pisang yang tumbuh dengan baik, rukun, dan hanya berbuah sekali.

Sepasang tebu wulung (tebu berwarna kemerahan) berarti kemantapan pendirian dengan membina kehidupan rumah tangga sepenuh hati. Cengkir gadhing (kelapa muda berwarna kuning) berarti memiliki pikiran baik dan merasa bersungguh-sungguh terikat dalam kehidupan bersama yang saling mencinta. Beragam dedaunan segar (beringin, majakara, alang-alang) merupakan simbol penghargaan supaya hidup dan tumbuh dalam keluarga yang selamat dan sejahtera. Semua itu bukan sekedar hiasan, melainkan memiliki pesan penting yang mesti disampaikan kepada pengantin.

Tak ayal, perkembangan teknologi menjadi salah satu penyebab persentuhan pertukaran budaya tradisional dan modern. Pada titik itu, terjadilah perbandingan-pertimbangan yang menyebabkan perkembangan budaya praktis-pragmatis. Unsur praktis dalam teknologi memunculkan asumsi budaya lokal sebagai budaya puritan, udik, dan ketinggalan zaman. Sebaliknya budaya asing yang menglobal lebih berkesan modern, elegan, simpel, dan wah. Itulah yang perlu kita cermati-pahami sebagai penanda dari iklim yang mengakibatkan pergeseran nilai dan makin rendah apresiasi terhadap perkawinan dalam adat dan simbol Jawa.

Terbukti, tak sedikit upacara pernikahan selebritas top dari dalam dan luar negeri diekspos dengan berbagai liputan. Sebuah informasi yang secara halus mengartikulasikan (menawarkan) produk budaya yang dirasa baru oleh masyarakat Jawa. Sementara alam bawah sadar kita terlalu mudah menerima hegemoni.

Maka lumrah kalau kita khawatir dan cemas akan terjadi kepunahan tradisi tertentu. Sebab, sudah menjadi konsekuensi logis jika tradisi yang makin jarang kita jumpai secara lambat laun kelak tergusur dan hilang tergerus arus globalisasi. Hegemoni kapitalis menutup celah kesadaran estetik-semiotik bangsa dalam menghargai dan melestarikan tradisi budaya lokal yang sarat makna.

Upacara perkawinan dalam budaya Jawa memang berkesan ribet dan tidak efektif, baik dari segi efisiensi maupun efektivitas penggunaan dana. Akan tetapi generasi penerus bangsa ini berhak tahu dan patut mewarisi budaya yang ada. Setidaknya, generasi muda penerus bangsa mengerti ada upacara tradisional dari segi filosofis dan makna atau pesan yang terkandung. Itu tak lain adalah upacara perkawinan Jawa beserta simbol-simbolnya.

Ahmad Rifqi Hidayat