Jika mendengar kata "nafsu", maka konotasi negatiflah yang muncul di benak kita. Acap pula dikemukakan untuk meningkatkan derajat lebih tinggi, orang harus menahan hawa nafsu. Di sisi lain, ketika kita berbuat salah, yang disalahkan selalu nafsu. Benarkah itu? Mungkinkah hidup dapat berlangsung dengan baik tanpa nafsu? Bukankah yang terjadi semestinya adalah menahan dan mengekang salah satu nafsu untuk memuliakan nafsu lain agar tercapailah keinginan kita?
Dalam tradisi Jawa, untuk meningkatkan derajat kemuliaan, orang sering mengekang hawa nafsu dengan sarana lampah. Mengekang bukan berarti mematikan, melainkan mengarahkan dengan laku prihatin. Keprihatinan atau lampah ngirang-ngirangi merupakan sarana meningkatkan beberapa hal yang menjadi target.
Secara umum, orang Jawa mengekang hawa nafsu untuk tiga tujuan. Pertama, nggayuh kasantikan (kesaktian), kedua untuk mapak tumuring wahyu (mendapatkan wahyu), dan ketiga merdi alusing budi lan lantiping panggraita (mencapai kehalusan budi pekerti dan ketajaman pikiran). Ajaran tersebut banyak tersirat dalam cerita, yang kebenarannya dipercayai orang Jawa.
Tembang macapat karya Mangkunegara IV, misalnya, dalam Serat Wedhatama pupuh sinom: "Samangsane pasamuan/ mamangun marta martani/ sinambi ing saben mangsa/ kala kalaning asepi/ lelana teka-teki/ nggayuh geyonganing kayun/ kayungyun eninging tyas/ sanityasa prihatin/ pungguh panggah cegah dhahar lawan nendra". Artinya: Dalam kehidupan harus bisa menyesuaikan diri setiap saat dan tidak mengenal waktu. Pada waktu sepi mengharap anugerah Gusti berlandaskan ketulusan tekad dengan cara prihatin menahan makan dan tidur.
Pupuh tembang macapat itu menyiratkan bahwa bagi orang Jawa, laku memadukan nafsu dalam mangasah mingising budi (mengasah ketajaman hati) untuk nggayuh lumunturing wahyu jatmika. Mengekang hawa nafsu bukan berarti hanya meninggalkan makan dan minum pada waktu tertentu dan boleh mengumbar pada waktu lain. Namun memadukan nafsu untuk saling mengisi kekurangan setiap nafsu tanpa mematikan keunggulan watak nafsu itu. Konsepsi kepemimpinan sedulur papat lima pancer tidak ada jabatan wakil ketua atau wakil roh. Dalam posisi yang demikian orang Jawa dianjurkan puasa ngapit weton. Ngapit weton merupakan wujud penghormatan pancer (diri kita) kepada sedulur papat yang mengawal kita dalam kelahiran. Roh kita sebagai pemimpin dan pengendali keadaan yang selalu didampingi keempat nafsu.
Pagelaran wayang kulit dengan lakon Begawan Ciptaning menyiratkan: untuk mapak tumuruning wahyu, Arjuna harus bertapa di Gunung Indrakila. Putra panengah Pandawa itu gentur tapa, meninggalkan semua urusan duniawi, memusatkan pikiran dan kekuatan. Alhasil, Dewa Siwa pun akhirnya memberikan pusaka mahasakti bernama Pasopati kepada dia. Senjata itulah kelak yang menjadi andalan dalam Perang Baratayudha demi menegakkan kebenaran dan keadilan.
Mesu budi untuk kasantikan juga dilakukan Mahesa Jenar dalam cerita SH Mintarja, Nagasasra Sabuk Inten. Dialah Senapati Demak bergelar Rangga Tohjaya. Murid tunggal Ki Ageng Pengging Sepuh itu mesu budi untuk menemukan intisari Aji Sasra Birawa yang belum sempurna. Di sebuah gua di Bukit Karang Tumaritis yang menjadi sengkeran Panembahan Ismaya, dia menempa diri. Ki Kebo Kanigara yang menyamar sebagai Putut Karang Jati menutup gua dari luar.
Selama di dalam gua, Mahesa Jenar tak diberi makan oleh Putut Karang Jati. Dia hanya minum air yang mengalir di dalam gua. Keprihatinan justru membuat Mahesa Jenar mampu mengasah inti ilmu Sasra Birawa hingga sempurna. Buah dari usaha itu, dia mampu menandingi musuh besar yang sebelumnya baru dia impikan untuk mengalahkannya - Pesingsingan, salah satu tokoh tua golongan hitam dari Hutan Lodaya dengan aji andalan Gelap Ngampar. Itu tidak bakal mampu dia lakukan jika ayah angkat Arya Salaka itu tidak mesu budi, mengekang hawa nafsu.
Apa yang diajarkan Mangkunegara IV serta yang dilakukan Arjuna dan Mahesa Jenar bukan mematikan hawa nafsu. Mereka mencari inti dari nafsu dan memadukan satu sama lain untuk mencapai kesalehan tindakan. Kesalehan tindakan itu didasari budi baik dan pikiran jernih. Keempat nafsu adalah supiyah (kadonyan) yang berlambang warna kuning, luamah (serakah) dilambangkan warna hitam, mutmainah (kebaikan) dilambangkan warna putih, dan amarah (kemarahan) dilambangkan warna merah. Manusia diberi keleluasaan menggunakan keempat sifat itu agar mampu bertahan dan tetap hidup sebagai insan kamil (manusia sempurna).
Lebih tepat nafsu diposisikan sebagai sahabat hidup. Apabila tak mampu mengendalikan keempat sahabat hidup itu, manusia akan terombang-ambing ke dalam jurang kehancuran. Sebaliknya, bila mampu mengendalikan, mengatur, menguasai keempat sifat sahabat hidup itu dengan baik dan benar, manusia bakal mencapai kejayaan, kebahagiaan, dan kesempurnaan. Dia akan menjadi insan sempurna dan mulia di sisi Allah, Sang Maha Pencipta alam semesta.