Kamis, 11 Oktober 2012

Tirakat, Kebutuhan Spiritual Manusia Jawa

Hidup manusia modern hari ini didominasi upaya pemenuhan kebutuhan lahiriah yang direpresentasikan dalam sandang, pangan, dan papan. Upaya itu terkadang dieksplorasi sedemikian rupa sehingga melebihi batas kewajaran dan mencederai akal sehat dan nurani bijak. Maka tak sedikit manusia modern mempunyai keberlimpahan lahiriah, tetapi dalam jiwa mengalami kemiskinan akut. Lebih celaka lagi, ketika upaya pemenuhan kebutuhan lahiriah tak mengindahkan etika sosial dan nurani yang sarat nilai kebajikan.

Berbagai upaya menyeimbangkan kebutuhan rohani mungkin tercermin dalam pengembangan emotional spiritual quotient (ESQ). Usaha lebih mengedepankan ESQ begitu mengemuka. Hampir setiap instansi pemerintah dan swasta menggunakan "motivator" untuk "meluruskan" pemahaman dalam segala bidang. Ada harapan, dengan memanfaatkan jasa pengembangan spiritual bakal tumbuh keseimbangan lahir dan batin sehingga terwujudlah manusia seutuhnya.

Namun benarkah usaha itu mencapai hasil maksimal? Dalam kenyataan, hasilnya tak serta-merta sesuai dengan target. Begitu banyak yang memperoleh kesadaran baru setelah menjalani "kursus" pengembangan ESQ, tetapi tak sedikit yang mengabaikan atau justru lebih parah dari semula. Yang terjadi, dunia makin panas dan tak bersahabat dengan manusia, rasa kasih pada sesama pun mendingin dan beku.

Setiap usaha menyeimbangkan lahir dan batin memang baik. Namun semua berpulang pada pribadi masing-masing untuk mewujudkan pribadi sempurna sebagai manusia mulia.

Sejak lama, banyak manusia Jawa berusaha memenuhi kebutuhan spiritual, antara lain melakukan tirakat untuk menjadi pribadi sempurna. Tirakat mungkin berasal dari kata Arab "taraka" yang menunjukkan pengertian menjauhkan diri dari keduniawian. Sikap yang mengemuka dalam tirakat adalah mendekatkan diri pada "penderitaan" sebagai laku untuk mencapai keterwujudan keinginan. Bukan keinginan akan ilmu, kekayaan, kesaktian, pangkat, sampai rezeki. Namun cenderung ke arah pencapaian spiritual atau keyakinan.

Salah satu tirakat yang paling sering dilakukan adalah berpuasa. Selain puasa, kegiatan tirakat lain adalah meditasi dan semedi. Menurut kesusastraan Jawa, orang yang bertahun-tahun berpuasa dianggap orang keramat. Dengan berpuasa, orang dapat menjalankan kehidupan yang ketat serta mampu menahan hawa nafsu untuk mencapai tujuan penting.

Ada banyak puasa bagi manusia Jawa untuk mencapai tujuan spiritual. Pati geni adalah tidak tidur atau tidak boleh keluar semalam suntuk, tak boleh tidur dan makan minum. Ada pula puasa Senin Kamis, lalu mutih, yakni hanya makan nasi putih dan minum air putih; dari satu hari sampai 40 hari. Ngebleng adalah tidak keluar kamar sehari semalam, tak berlampu, hanya keluar saat buang air kecil, tidak boleh tidur. Tapa pendhem atau ngluwang adalah puasa seraya dikubur hidup-hidup, hanya diberi jalan nafas. Biasanya ditempuh selama tiga hari atau tujuh malam.

Namun sekarang, wujud tirakat itu dilakukan sesuai dengan keinginan setiap manusia (modern) yang berbeda-beda. Apalagi konsep tirakat jika diterapkan sekarang akan menjadi beban berat. Sebab, akan berbenturan dengan rutinitas pemenuhan kebutuhan lahiriah yang mendominasi. Namun, sekali lagi, itu berpulang pada pribadi masing-masing: untuk mengerti hakikat laku dan tirakat sebagai upaya menjaga agar tetap fokus pada mindset dan tujuan. Jadi, mendorong dan mengarahkan perilaku seseorang agar tetap dalam arah yang membangun ketercapaian tujuan, menjadikan pekerjaan sebagai laku yang mendorong bekerja lebih profesional, jujur, dan disiplin. Dengan harapan, terhindar dari kebiasaan dan etos kerja yang dapat menghancurkan karier.