Dalam aksara Jawa, terdapat dentawyanjana yang terdiri dari duapuluh aksara tanpa sandhangan, tanpa pasangan, yang disebut dengan aksara nglegena. Sandhangan diperlukan untuk membuat aksara lainnya itu berbunyi tidak hanya dengan "a" seperti ha, na, ca, dan sebagainya, tetapi juga agar bisa berbunyi hi, ne, cu, dan seterusnya.
Disamping itu, dikenal juga pasangan dan pangkon. Pasangan digunakan untuk menandai huruf mati atau sigeg di tengah-tengah kalimat, sedangkan pangkon digunakan untuk "mematikan" aksara nglegena dan hanya bisa digunakan diakhir kalimat. Setiap aksara nglegena yang dipangku, akan menjadi aksara mati.
Dari aksara itulah muncul "filosofi" Jawa tentang "dipangku mati" atau "yang dipangku pasti akan mati" dapat digali. Dalam tradisi orang Jawa, aksara Jawa dengan segala tata aturan penulisannya, dianggap tidak hanya sekedar sebagai sarana untuk menulis, tetapi lebih dari itu aksara Jawa mengandung nilai-nilai filosofis tertentu.
"Mati yen dipangku" kemudian dianggap menjadi salah satu bagian dari manajemen kepemimpinan Jawa. Sebagai penerapan dalam gaya kepemimpinannya, jika saat memimpin ada orang yang dianggap sebagai ancaman, bahkan musuh, sebaiknya jangan dimusuhi. Dekatilah dia, kalau perlu berikanlah kedudukan atau jabatan yang layak sehingga akan merasa berhutang budi, dan dengan begitu niscaya akan mendukung yang memimpin.
Sudah menjadi sifat manusia, barangsiapa diberikan kebaikan, secara nurani pastilah dia akan merasa perlu untuk membalas budi dengan kebaikan juga. Barangsiapa dipangku, pastilah dia akan merasa mendapatkan kenikmatan sehingga akan berusaha membalas dengan kebaikan juga.
Pada masa akhir pemerintahan Majapahit, Prabu Brawijaya bukannya tidak menyadari ancaman yang bakal ditebarkan oleh para pemimpin wali terutama yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Justru karena itulah dia merasa perlu untuk memangku mereka, memberikan tempat untuk mendirikan padhepokan, bahkan kasunanan. Begitu pula dengan Raja Jayakatwang, setelah berhasil mengalahkan Kertanegara dia memegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Kediri. Namun dibalik itu masih ada Raden Wijaya yang notabene menentu Kertanegara.
Raja Jayakatwang menyadari, Raden Wijaya adalah ancaman laten. Namun terhadap ancaman laten tersebut, yang sewaktu-waktu bisa melancarkan serangan balasan, Raja Jayakatwang justru memangkunya. Diberikanlah izin kepada Raden Wijaya untuk menduduki tanah perdikan di Tarik dan babat alas disana.
Namun sebagaimana Sunan Bonang bagi Brawijaya, Raden Wijaya tetap saja menjadi "musuh dalam selimut" bagi Jayakatwang. Tindakan memangku ini secara tidak langsung justru malahan "membesarkan" musuh. Pada kasus ini, memangku tidak berujung pada kematian yang dipangku, tetapi justru menguatkannya. Memangku malah memberikan kekuatan yang dipangku.
Ketika sunat (khitan) masih dilaksanakan secara tradisional (ketika saya dikhitan dulu), biasanya yang disunat dipangku oleh seseorang yang dianggap memiliki kekuatan batin (dulu yang memangku saya adalah bapak). Setidak-tidaknya memberikan rasa keberanian dan ketenangan yang disunat, sehingga pada waktu pemotongan pucuk (maaf) kelamin dilakukan si anak tidak merasa gentar. Mangku dalam konteks ini selain untuk menguatkan dan menghibur, juga dalam rangka untuk melenakan, membuat lupa bahwa yang akan dihadapi itu adalah kesakitan.