Senin, 13 Juni 2011

Sore di Padhepokan Karang Klethak

Dikisahkan ada sebuah padhepokan, padhepokan tersebut bernama Padhepokan Karang Klethak yang berada di sebuah pinggir Sungai Boyong, sungai yang mengaliri desa Wonorejo, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Padhepokan tersebut juga sering dikenal dengan nama Kapitrukan, artinya tempat tersebut dimiliki oleh Kyai Petruk. Di dalam padhepokan itu seringkali diadakan pertemuan, jagongan dalam bahasa Jawa-nya. Siapa lagi yang jagongan disitu kalau bukan Petruk, kakaknya Gareng, adiknya Bagong, dan bapaknya Semar.

Yang saya maksudkan disini bukanlah keempat Punakawan dalam pewayangan, akan tetapi ini adalah sebuah sanepan atau kiasan dalam kehidupan manusia yang nyata, yang keberadaannya selalu menjadi lembar sejarah tersendiri hingga sekarang. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sosok Semar, Gareng, Petruk dan Bagong akan selalu menjadi “pelaku sejarah”, selama sejarah tersebut mempunyai tokoh utama rakyat kecil. Bukankah dalam pewayangan sosok Semar, Gareng, Petruk dan Bagong digambarkan sebagai rakyat kecil yang melayani kaum ksatria “putih”?

Kembali ke jagongan yang terjadi di Padhepokan Karang Klethak, waktu itu menjelang petang hari, Sungai Boyong terlihat bening. Airnya mengalir pelan. Tiba-tiba Petruk menunjuk sebuah batu besar yang berada di bawah Padhepokan Karang Klethak. Petruk mengawali sebuah percakapan, bahwa batu besar itu dari waktu ke waktu tetap berada pada tempatnya. Sudah beberapa kali aliran lahar Gunung Merapi menerjang Sungai Boyong, tetapi batu itu tetap ajeg pada tempatnya. Tidak seperti batu-batu lain yang setiap diterjang lahar akan berpindah tempat, batu besar itu tidak pernah berpindah dari tempatnya. Apa sebabnya? Kata Petruk, batu tadi “disabuki” oleh rantai mas yang sangat kuat. Oleh karena itu batu besar tadi dinamakan Kyai Rantai Mas.

Menurut cerita Petruk, suatu hari pernah ada seorang priyayi dari Kerajaan Mataram yang bertapa dibawah Kyai Rantai Mas. Perlunya, dia akan mengambil rantai mas yang menyabuki batu besar tadi. Tidak ada hasil, malah priyayi tadi terpental dan jatuh pingsan di Kali Boyong. Ternyata, Kyai Rantai Mas lebih sakti daripada priyayi pinunjul tadi.

Selesai Petruk bercerita, Semar lalu berkata, "Thole, dalam piwulange guru yang bergelar Sang Guru Jagad, Krisnamurti, seperti yang sudah ditulis dalam Serat Gesang Sejati, juga ada yang dinamakan rantai mas. Begini bunyinya: Ingsun iki kaya dene gelangan kang ana sajroning rante mas, sih, kang ngolongi jagad, lan ingsun kudu ngreksa supaya gelanganku bisa resik lan santosa. Mulane ingsun bakal ngangkah supaya ingsun bisa becik lan tresna marang sapepadaku urip, kang kapetuk marang ingsun, lan kabeh, kang luwih ringkih tinimbang ingsun, ingsun ngangkah bisaa ngayomi lan mitulungi. Lan ingsun ngangkah supaya ingsun bisaa nyipta gagasan kang suci lan resik, bisaa ngucapke tembung kang suci lan resik, bisaa nindakke tindak kang suci lan resik."

"Jadi semua manusia, termasuk diri kita ini, sebenarnya hanya gelangan yang terikat satu dengan yang lain menjadi rantai, yang nyabuki jagad, supaya jagad ini bisa kukuh, lestari, dan sentosa," ujar Gareng menyambung percakapan.

Bagong segera ikut mengambil bagian. Dari suaranya, terlihat jelas bahwa dia juga mempunyai pendapat: "Rantai tadi bisa kukuh nyabuki jagad, kalau gelangan-gelangan tadi sama kuatnya. Tapi kenyataannya tidak demikian. Ada gelangan yang besar dan kuat, ada gelangan yang kecil dan ringkih. Bagaimana gelangan-gelangan yang tidak sama kekuatannya tadi bisa menjadi rantai yang kuat melindungi jagad? Lebih parahnya lagi, terkadang gelangan besar tadi sering menarik diri dan memaksa keluar sesuka hati, sampai-sampai gelangan yang kecil menjadi kendur dan menjadi putus."

"Gong, pada intinya kamu berpendapat kalau manusia itu bisa menjadi sabuking jagad bukan? Karena jagad ini besar dan diibaratkan seperti batu yang dinamai Kyai Rantai Mas, kalau jagad ini masih ada jurang pemisah antara besar dan kaya dengan kecil dan miskin bukan? Lebih parahnya lagi karena yang kaya suka semena-mena terhadap yang lemah dan miskin," sambung Petruk.

"Lha yo kuwi, seperti itulah yang aku maksudkan, Truk," kata Bagong.

Percakapan di Karang Klethak tadi seketika terhenti sebentar. Semuanya memandang ke arah batu besar Kyai Rantai Mas, yang kokoh dan tetap pada tempatnya di Kali Boyong. Sebentar kemudian Semar berujar, "Thole, Thole, para leluhur tanaha Jawa memberikan piweling, manusia diciptakan di dunia ini supaya ndarbeni, merasa memiliki barang yang semakin lama semakin banyak, agar hidup kita menjadi lebih baik. Jadi, bukan hidup utnuk lebih kaya, melainkan untuk hidup yang luwih becik, lebih baik dari sebelumnya, yaitu yang nantinya menjadi otot bayuning memayu hayuning buwana. Kalau seperti itu, aku, kamu dan semua manusia akan menjadi gelang-gelangan yang senantiasa tolong menolong, saling melindungi dan mengayomi, sampai bisa terikat dan melindungi jagad, agar jagad ini bisa tenteram dan sentosa."

Mendengarkan pitutur Semar tadi, Petruk, Gareng, dan Bagong mengangguk-angguk, sambil merasakan dan berpikir kekuatan dan kekokohan batu Kyai Rantai Mas di Kali Boyong.