Mikul dhuwur mendhem jero sering di salah artikan sebagai tindakan atau usaha untuk tidak mengadili orangtua dan pemimpin yang bersalah. Kesan yang muncul kemudian adalah, orang Jawa begitu muah melepaskan tanggung jawab atas kesalahan dan beban yang seharusnya dilaksanakan dan diselesaikan agar tidak lagi menjadi penghalang bagi kebajikan-kebajikannya.
Mikul artinya memikul, yakni membawa diatas bahu. Duwur artinya tinggi, Mendem artinya menanam. jero artinya dalam. Dengan demikian "mikul duwur mendem jero" arti mudahnya adalah ada sesuatu yang harus dijunjung tinggi dan ada yang harus ditanam dalam-dalam. Masalahnya apa yang harus dijunjung tinggi dan apa yanng harus ditanam dalam-dalam dan dalam keadaan bagaimana hal itu dilakukan.
Bangsa kita terkenal dengan sikapnya yang 'forget and forgive' (lupakan dan maafkan). Suatu kesalahan dipendem dalam-dalam demi harmoni yang harus diutamakan. Masyarakat yang masih paternalistik dan fodalistik sering mendem keaiban atau kesalahan demi kehormatan atasan.
Mikul dhuwur mendhem jero, meskipun dimaksudkan untuk selalu menghormat kepada orang tua atau pemimpin, namun tidak membutakan diri untuk meniai perbuatan orang tua dan pemimpin. Karena yang tua dan pemimpin juga memiliki kewajiban yang sama untuk selalu melakukan perbuatanyang benar, baik dan pener. Justru yang tua dan pemimpin dituntut "lebih" dalam mengaktualisasikan budi pekerti luhur.
Orang tua yang tidak memiliki budi pekerti yang luhur disebut tuwa tuwas lir sepah samun. Orang tua yang tidak ada guna dan makna sehingga tidak pantas di tauladani. Pemimpin yang tidak memiliki budi luhur juga bukan pemimpin. Kita harus lebih cerdas memaknai falsafah hidup orang Jawa tersebut, ora waton ngulu.
Bangsa kita terkenal dengan sikapnya yang 'forget and forgive' (lupakan dan maafkan). Suatu kesalahan dipendem dalam-dalam demi harmoni yang harus diutamakan. Masyarakat yang masih paternalistik dan fodalistik sering mendem keaiban atau kesalahan demi kehormatan atasan.
Mikul dhuwur mendhem jero, meskipun dimaksudkan untuk selalu menghormat kepada orang tua atau pemimpin, namun tidak membutakan diri untuk meniai perbuatan orang tua dan pemimpin. Karena yang tua dan pemimpin juga memiliki kewajiban yang sama untuk selalu melakukan perbuatanyang benar, baik dan pener. Justru yang tua dan pemimpin dituntut "lebih" dalam mengaktualisasikan budi pekerti luhur.
Orang tua yang tidak memiliki budi pekerti yang luhur disebut tuwa tuwas lir sepah samun. Orang tua yang tidak ada guna dan makna sehingga tidak pantas di tauladani. Pemimpin yang tidak memiliki budi luhur juga bukan pemimpin. Kita harus lebih cerdas memaknai falsafah hidup orang Jawa tersebut, ora waton ngulu.