Dalam kebudayaan dan tradisi orang Jawa, ada tiga perkara yang perlu dihormati, yaitu: wong tuwa, guru, dan pepundhen (pimpinan). Ketiga orang tersebut sudah memberikan cahaya penerangan atau pepadhang bagi dunia ini, sudah mencerahkan orang Jawa dari kegelapan, dan sudah banyak pengorbanan yang mereka lakukan. Jika saja kita melupakan ketiganya, mereka bisa saja mengelus dada karena merasa disia-siakan.
Menurut sabda Hyang Tunggal dalam lakon pewayangan Manikmaya, manusia memang mempunyai sifat empat perkara, yaitu: lali (lupa), apes, murka, dan rusak. Maka dari itu dari jagad wayang kulit, Manikmaya (Bathara Guru) digambarkan mempunyai empat buah tangan. Sifat empat perkara ini agaknya akan selalu menyertai dalam kehidupan pada orang Jawa, entah sampai kapan.
Lali atau lupa agaknya sudah menjadi pemandangan umum di masyarakat kita, malah yang memprihatinkan ada orang yang lupa darimana asalusulnya. Lupa kalau pernah dilahirkan ibunya, lupa kalau pernah disuapi ibunya, bahkan lupa akan pengorbanan orang tua sewaktu membesarkan. Yang lebih parah lagi, ada yang sudah lupa terhadap sing gawe urip. Hanya karena permasalahan pembagian harta warisan, sesama saudara bisa menjadi musuh dalam selimut. Apalagi bagi mereka yang menyandang status “wakil rakyat” yang merasa sedang memegang uang negara, saling bertengkar dan saling menjatuhkan satu sama lain. Sepertinya semua sudah mulai melupakan labuh labet dan jasa ataupun pengorbanan dari orang tua yang mengukir jiwa raga kita, bahkan ada yang tega terhadap orang tua, ngidak-idak, bahkan bisa dikategorikan sebagai tindakan durhaka kepada orang tua. Akhirnya gelagat mikul dhuwur mendhem jero, ngurmati kanthi spiritual terhadap orang tua sudah mulai luntur. Naudzubillah min dzalik...
Dalam kehidupan bermasyarakat orang di Jawa sering ditemukan unen-unen atau pepatah “yen tau ngombe banyu sumur mbok yo ojo wani ngidoni banyu sumur” (kalau kita pernah meminum air sumur, jangan pernah berani meludahinya). Selain dinilai tidak sopan, tindakan seperti itu bisa dikatakan cumanthaka karena air sumur biasanya bersih – kecuali sumur itu penuh dengan kotoran, sampah dan ada bangkai binatangnya. Menurut ngelmu sumur, sumber air tadi rata-rata bersifat bersih, bening, bahkan suci, tetapi jika tercampur dengan “kotoran” tadi maka akan menjadi berbahaya. Tidak berbeda dengan jagade para leluhur, para pemimpin ini pada awalnya terlahir suci, bersih, dan bening. Hanya saja ketika sudah banyak “tercampur” kotoran, bangkai dan sampah akan diibaratkan seperti sumur yang tidak pernah ditimba airnya. Maka dari itu, sumur tersebut sudah tidak layak untuk dipepundhi lagi. Itulah yang disebut filsafat “ilmu sumur” dalam masyarakat Jawa pada khususnya.
Setali tiga uang dengan narasi diatas, dalam cerita Damarwulan Ngarit juga berlaku kondisi “ilmu sumur” seperti tersebut diatas. Ayah dari Damarwulan yang bernama Patih Maudara pernah mengundurkan diri dari jabatan Patih. Bukan karena terkena skandal korupsi, tetapi karena rasa hormatnya kepada sang ratu Prabu Brawijaya (yang sudah mencapai kasedan jati). Demi kehormatan dan membela sang raja, Patih Maudara rela mundur dari kepatihan dan digantikan adiknya, Patih Logender. Patih Maudara rela mbeningke air sumur yang sudah ditimba. Akan tetapi karena perilaku negatif dan ngeyelan sang adik, sewaktu Damarwulan berperang melawan Minakjingga, air sumur yang tadinya bening berubah menjadi keruh lagi.
Rasa iri, tipu muslihat dan berbagai macam bentuk kebohongan dari Patih Logender-lah yang menjadikan sumur Kerajaan Majapahit keruh. Apalagi ditambah dengan mengajari anaknya yang bernama Layang Seta dan Layang Kumitir, untuk membuat keterangan palsu kepada sang Ratu Ayu Dyah Kencanawungu bahwa yang sudah membunuh Minakjingga adalah mereka, lengkap sudah sepak terjang Patih Logender. Agaknya tindakan ingin memuliakan anak dengan cara “dhandhang diarani konthul” alias memfitnah inilah Patih Logender dapat dicap sebagai orang munafik. Di depan sang ratu dia kelihatannya begitu hormat, tetapi ketika dibelakang dia berani ngubek-ubek air sumur hingga menjadi keruh, njongkeng kawibawan dari sang ratu.