Alkisah seorang prajurit akhirnya berhasil kembali ke Jawa seusai perang Timor Timur. Ia menelepon kedua orang tuanya yang dari Surabaya. “Ayah dan ibu, aku pulang, tapi ada satu hal yang ingin kumohonkan. Saya ingin membawa seorang teman bersamaku.”
“Tentu ……..,” jawab orang tuanya, “kami akan senang menjumpainya”. “Tapi ada yang perlu ayah dan ibu ketahui,” kata sang putra meneruskan. “Ia terluka cukup parah ketika bertempur. Ia menginjakkan kakinya di atas ranjau darat dan kehilangan satu kaki dan tangannya. Kini ia tak tahu harus kemana, maka saya ingin membawanya bersamaku dan hidup bersama kita.”
“Saya sungguh menyesal mendengarnya, Nak. Barangkali kita bisa menolong menemukan tempat lain baginya untuk menghabiskan sisa hidupnya”.
“Tidak, aya dan ibu, saya ingin ia hidup bersama kita,” pinta sang anak tersebut.
“Anakku,” kata si ayah lagi, “kamu tidak akan mengerti permintaanmu sendiri. Seseorang dengan cacat seperti itu hanya akan menyusahkan hidup kita. Hidup kita sendiri pun masih susah dan harus kita urus sendiri, kita tidak boleh membiarkan hal seperti itu mengganggu ketenangan hidup kita. Saya pikir sebaiknya kamu langsung pulang saja, lupakan anak itu. Biarlah dia menemukan cara hidupnya sendiri.”
Seketika itu si anak meletakkan gagang teleponnya, dan orang tuanya tak lagi mendengar kabar berita darinya. Namun, beberapa hari kemudian mereka menerima telepon lain dari polisi Surabaya. Mereka dikabari: Anak merekan tewas terjatuh dari gedung bertingkat..! Sang polisi meyakini itu akibat tindak bunuh diri.
Sepasang orang tua yang berduka itu langsung terbang menuju Surabaya, dan diantar ke kamar jenazah untuk mengidentifikasi jasad anaknya. Mereka dengan jelas mengenali putranya. Tapi betapa terkejutnya mereka, jasad putra mereka adalah seorang pemuda dengan hanya sebelah tangan dan kaki.