Hidup di dunia yang hanya sebentar ini, bermacam-macam cara orang yang menjalaninya. Banyak yang hidupnya hanya untuk memburu dan mengumpulkan harta dunia supaya bisa memperoleh kemuliaan, kesehahteraan, dan harumnya nama di dunia. Beraneka jalan, cara dan upaya dilalui supaya bisa merengkuh keinginan, tidak ingat akan dosa dan salah, ataupun merugikan negara dan kepentingan orang lain.
Golongan yang seperti ini disebut golongan “wong kang ngawulo dunyo” atau menjadi budak dunia. Sebaliknya dari golongan ini, ada sebagian orang yang secara istiqomah selalu beribadah menurut agama secara tekun dan selalu mengingat bahwa akan ada kehidupan lain yang kekal setelah kematian. Karena ketekunannya dalam beribadah, orang-orang seperti ini sampai tidak memperdulikan kehidupan di kanan-kirinya. Golongan ini disebut “wong kang ngawulo suwarga” atau orang yang berorientasi kepada surga.
Selain kedua golongan tersebut diatas, ada juga beberapa orang yang bisa “nglungguhake” semua permasalahan dalam kehidupan dalam posisi di tengah-tengah, artinya selalu beribadah tapi tidak lupa akan kewajibannya dan selalu menyebar kebaikan kepada orang lain. Yang dilakukan sehari-hari biasa disebut “laku tapa ngrame”, yaitu berbakti kepada sesama berlandaskan kepercayaan kepada Gusti Kang Maha Suci. Ketiga golongan ini bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Adapun kepada diri pribadi kita sumangga kersa dalam menilai kita masuk dalam golongan yang mana menurut perilaku kita sehari-hari, menurut tumindak dan pakarti kita masing-masing.
Serat Centhini telah memberikan gambaran tentang perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Gambaran ini diwujudkan dalam dongeng hewan yaitu uler jedhung, ula sawa, dan manuk urang-urangan. Ketiga hewan tersebut mempunyai cara hidup yang berbeda-beda yang bisa memberikan kita “kaca benggala” terhadap hidup manusia. Ketiganya bisa menjadi “dalil akal” bagi orang-orang yang mau mengasah landheping pikir anuju kasampurnan.
Yang pertama adalah kehidupan uler jedhung, dari lahir sampai dewasa yang namanya uler jedhung selalu mengumbar nafsu makan (nafsu lauwamah) tanpa peduli apa yang dimakan itu milik siapa, juga tidak peduli bahwa yang dia lakukan merugikan kaum petani. Sehari-harinya hanya makan dan makan sampai perutnya membuncit (rina pantaran ratri kang denudi muhung tuwuke wadhuk, mbledhunge padharan). Tetapi sisi positif dari contoh hewan ini, apabila sampai waktunya dia bertaubat, laku cegah dhahar lan guling atau berpuasa inilah yang kelak akan merubah dirinya menjadi enthung atau kepompong.
Dalam hitungan hari, si enthung ini akan menjadi kupu-kupu yang indah bentuk dan warnanya. Dari keindahan bentuk dan warna inilah akhirnya membuat banyak orang tertarik kepadanya. Para alim ulama sering mengambil proses metamorfosa ini sebagai perumpamaan dan pengingat bagi orang-orang yang masih ngawulo dunyo agar segera bertaubat. Kesimpulannya, “ngupadia laku prihatin amrih bisa malik wujud dadi makhluk kang endah ing warna”.
Gambaran yang kedua adalah ula sawa. Ula sawa termasuk ular yang mempunyai bisa mematikan. Hidupnya hanya untuk memamerkan dan mengandalkan kesaktiannya. Racun bisa yang diandalkan itu sangat berbahaya bagi makhluk lain. Selain racun bisa, wujudnya yang besar juga bisa membuat takut musuh-musuhnya. Begitulah gambaran hidup dari ula sawa, semakin lama hidupnya semakin nggegirisi wujudnya dan semakin ampuh bisanya.
Menurut siklus hidupnya, semua ular termasuk ula sawa akan mengalami proses nglungsungi atau ganti kulit. Akan tetapi walaupun sudah berganti kulit berkali-kali, si ula sawa ini tidak mengalami perubahan akhlak sedikitpun. Begitulah gambaran orang yang senantiasa mengagungkan dirinya dengan segala cara agar hidup mulia dan berkecukupan harta. Manusia semacam ini beranggapan seolah-olah akan hidup untuk selamanya, mengandalkan kemampuan dan kelebihannya. Tetapi sayangnya, nama besar, banyaknya harta, kemampuan dan kelebihan yang dimilikinya tidak mendatangkan berkah atau kebaikan bagi sesamanya. Seperti si ula sawa, matinya orang yang nyembah kamulyan donya seperti ini hanya akan meninggalkan bisa racun saja.
Yang terakhir, gambaran kehidupan dari manuk urang-urangan yang hidupnya diliputi kesederhanaan, dan tidak mempunyai daya kelebihan apa-apa. Setiap harinya burung ini hanya hinggap diranting atau dahan pohon yang tumbuh disekitar telaga, danau, atau sungai. Setiap hari selalu “meneliti” bulunya sendiri yang tumbuh disekujur badannya. Kalau bulunya terasa tidak rapi, cepat-cepat ditata agar terlihat rapi kembali. Manuk urang-urangan ini juga selalu bercermin dan introspeksi diri dari pantulan air bening yang berada di bawahnya. Hidupnya juga selalu terjaga agar bisa tertata. Bagaimana dengan cara dia mencari makan setiap harinya? Yang dicari hanyalah ikan atau udang secukupnya saja, tidak terlalu bernafsu untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya, tidak ngangsa dan ngaya karena hidupnya memang prasaja.
Gambaran kehidupan dari manuk urang-urangan ini setidaknya bisa menjadi cerminan bahwa hidup itu hanya seperlunya dan secukupnya saja. Dalam unen-unen Jawa dikatakan mungguh urip iku samadya wae. Tidak akan ada gunanya menuruti nafsu dunia dengan berlebih-lebihan, tidak ada artinya menjadi orang yang sakti kalau mempunyai pamrih pribadi, tidak ada gunanya menjadi orang kaya harta tapi hanya untuk menuruti nafsu angkara murka. Lebih baik didalam hidup kita bisa selalu bercermin diri (tansah ngilo marang githoke dhewe), tidak perlu mencari-cari kesalahan orang lain tapi tidak berusaha mencari kesalahan sendiri. Sebaliknya, kita harus terus introspeksi diri sebab pada kenyataannya masih banyak kekurangan dalam diri kita, dan jauh dari sempurna. Selain itu, dalam mencari harta dunia hanya secukupnya, seperlunya, dan sekuatnya saja (baca artikel tentang “Ajaran Ki Ageng Suryamentaram”). Jangan memaksakan diri apalagi sampai nyahak wewenanging liyan.
Semoga hidup kita (khususnya bagi diri penulis pribadi) bisa meniru pola hidup dari manuk urang-urangan yang senantiasa eling lan waspadha seperti digambarkan dalam Serat Centhini diatas. Perilaku hidup semacam itu dituangkan dalam sebuah lagu yang ditulis oleh KGPAA Mangku Negara IV, yaitu : “Mangkono ngelmu kang nyata.. Sanyatane mung weh reseping ati.. Bungah ingaran cubluk.. Sukeng tyas yen den ina.. Nora kaya Si Punggung anggung gumunggung.. Agungan sadina-dina.. Aja mengkono wong urip..”
*Sumber : berbagai macam sumber yang diolah
*Sumber : berbagai macam sumber yang diolah