Jumat, 06 Mei 2011

Urip Mung Mampir Ngombe

Ocapan "Urip mung mampir ngombe" sudah dikenal masyarakat Jawa mulai dari wong agung sampai wong cilik pidak pedarakan-nya. Di satu sisi pocapan itu mengungkapkan posisi lemah manusia di hadapan Gusti Allah, di sisi lain, mewartakan keniscayaan manusia untuk terus berjuang guna menegakkan harkat dan martabat yang sejak lahir telah menjadi berkah dan amanah. Pocapan lain yang lebih khusyuk bila orang mengucapkannya yakni "sangkan-paraning dumadi". Dari mana manusia berasal ke mana dia pergi. Inna lillahi wa ina lillahi roji'un. Setiap manusia meninggalkan kehangatan surga dengan amanah: "memayu hayuning bawana", karena itu mereka mesti terus menerus "eling percaya, mituhu" kepada Tuhan, selalu berusaha untuk ngugemi "jumbuhing kawula-Gusti".

Inilah pralambang yang berkali-kali diungkapkan oleh para dalang ketika seorang ksatria sehabis bertapa pamit kepada gurunya untuk melaksanakan kewajiban kekesatriaan, menyelamatkan dunia. Adegan itu menjadi serius ketika guru, begawan, memberikan sangupangestu; dan menjadi penuh elan sukacita, ketika Semar, Gareng, Petruk, Bagong momong perjalanan tugas bendara-nya. Dalam adegan inilah komitmen satriya gung itu diungkapkan. Komitmen yang konsisten, kontinyu, konsekuen! Memang sih, ada adegan pamitan yang penuh aurora kesedihan, Damarwulan pamit mati, dan seperti ketika Damarwulan pamit Anjasmara untuk melaksanakan tugas memerangi Minakjinggo yang sakti mandraguna : "Anjasmara ari mami/ pun kakang pamit palastra".

Ringkas kata, metafora perjalanan sudah sangat akrab bagi orang Jawa untuk memahami pengalaman manusia dalam menempuh waktu; karenanya semua perbuatan mestilah "empan papan among mangsa", semua ada wayahnya masing-masing. Secerdik-cerdik pemimpin melompat sekali waktu jatuh juga "yen wis wayahe". Itulah yang terjadi pada Aa Gym yang "ilmu poligami"-nya sudah tinggi, atau Yahya Zaini dengan dhemenannya Maria Eva. Semua hanyalah momentuos. Momentum. Waktu, saat, seperti juga ujar Chairil Anwar, "Kalau sampai waktuku/ Kumau/ Tak seorang kan merayu...". Waktunya akan datang, seperti juga pada Bima setelah merambah hutan, menempuh lautan, mengapung setengah mati melawan naga, akhirnya datang juga pertolongan itu: Dewaruci!

Tidak semua orang seperti Bima yang "eling, percaya, mituhu" berjalan di jalan rahayu, tetapi adakah Indonesia (bisa) jadi perkecualian ketika manusianya pada nerak paliwara?!