Berdasarkan data Dinas Perindagkop & UMKM Kota Pekalongan, terdapat 612 unit usaha batik yang tersebar di 15 Kelurahan sentra batik (dari 47 Kelurahan) di Kota Pekalongan. Ratusan unit usaha tersebut menyerap tenaga kerja sebanyak 6.792 orang. Inilah yang menjadikan batik Kota Pekalongan sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada perajin kecil, bukan pada pengusaha dengan modal besar.
Selama bertahun-tahun, proses produksi batik di Kota Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah penduduk. Karenanya, batik Pekalongan menyatu dengan kehidupan masyarakatnya. "Perempuan di Pekalongan itu kalau tidak membatik ya menjahit. Sejak kecil saya sering melihat ibu membatik. Kini menurun ke saya," ujar Rasimi (50) yang bermata pencaharian sebagai buruh batik.
Hal ini pun terjadi pada Aniyah (21) anak keduanya. Karena sering membantu ibunya saat membawa pulang garapan batikan ke rumah, kini Aniyah pun menjadi buruh batik setelah lulus SD. Batik, bagi Rasimi dan Aniyah, tidaklah sekedar selembar kain, melainkan sumber penghidupan keluarga. Mereka menjadi buruh batik untuk menyelamatkan ekonomi keluarga. Bahkan, Ketua Paguyuban Pecinta Batik Pekalongan, Hj. Fatiyah Abdul Kadir menyebut batik sebagai roh masyarakat Kota Pekalongan. Sumber yang menghidupi masyarakat Kota Pekalongan.
Namun untuk batik yang dijual ratusan hingga jutaan rupiah itu, para pelestari budaya itu hanya menerima upah yang sangat rendah. Kesetiaan mereka pada batik hanya diganjar dengan upah Rp.15.000 - Rp.30.000/harinya. Rasimi, warga Kelurahan Gamer, Kecamatan Pekalongan Timur, Kota Pekalongan menuturkan bahwa ia hanya menerima Rp.15.000 sebagai upah membatik dari pukul 08.00 hingga pukul 15.00. Upah yang diterimanya itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Ya membeli beras, membeli gula, membayar sekolah, membayar listrik, semuanya'" paparnya.
Rasimi yang telah membatik sejak sepuluh tahun lalu itu mengaku pendapatannya sebagai buruh batik tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya: dia, suami, dan tiga orang anaknya. Bahkan jika digabung dengan upah suaminya yang juga menjadi buruh batik harian dengan upah Rp.30.000 tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. "Tidak cukup. Untuk makan setiap hari saja dibutuhkan Rp.20.000 sampai Rp.25.000. Belum lagi kebutuhan lainnya. Karena itu, Rasimi hanya mampu menyekolahkan ketiga anaknya sampai SD. "Inginnya ya melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, tapi karena tidak ada biaya, saya hanya pasrah," ucap Aniyah lirih.
*Sumber : Suara Merdeka, 26/05/2011