Selasa, 11 Februari 2014

Islamisasi di Jawa

Sultan Agung Hanyakrakusuma yang turut berjasa besar menyemarakkan Islamisasi di Jawa, terutama di kalangan keraton, juga berjasa besar menyinkronkan tahun baru Hijriah tanggal 1 Muharam dengan tahun baru Jawa, tanggal 1 Sura. Makna tahun hijriahnya diperingati umat di masjid-masjid sampai hari ini. Tetapi makna satu Sura, sebagai tradisi Jawa dipelihara. Islam dan Jawa hadir dan menyatu dalam budaya, dan rukun, serta tak saling mencaci. Satu sama lain dibuat saling mengakomodasi. Islam dan Jawa saling menghormati.

Bagi orang Jawa, tanggal 1 Sura, acara Suran, atau sepanjang bulan Sura, dianggap sebagai momen pembersihan. Bersih jiwa, bersih raga. Bersih dalam bersih luar. Bersih dunia bersih akhirat. Untuk menuju bersih jiwa, ada momen kontemplasi, merenung, dan bersyukur. Jika dibersihkan, dan dibikin murni, kalau itu mungkin, agar hidup menjadi lebih baik, lebih bermakna. Bersih raga, ditempuh dengan tradisi bersih desa. Ada pula acara menjamas pusaka. Pembersihan jiwa, dilakukan di tempat yang memungkinkan untuk menciptakan suasana "ning" dan "neng": "ning" kaya banyu, "neng" kaya watu. Dan orang pun masuk ke dalam hampa, alam peniadaan diri. Ada bunyi tak didengar. Ada rasa tak dirasakan. Ada rupa tak dipandang. Orang Jawa hendak menyerupai Bima, yang mencapai penyatuan mistik dengan Tuhan. Ada kerinduan untuk manunggal.

Perubahan-perubahan sosial membuat ritus itu berkembang. Di pantai selatan, salah satu tempat penting, dan "wingit" bagi orang Jawa, di Parangkusuma, acara Suran terasa sangat besar-besaran. Manusia membanjir. Ada yang hanya ikut-ikutan tapi tak mengerti arti apa yang diikuti. Ada yang ugal-ugalan. Ada yang sekadar mencari energi positif di pantai yang udaranya sangat segar sambil menonton pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Ada yang sangat serius melakukan ritus spiritual.

Mereka yang serius, yang mengerti apa artinya ritus itu bagi tradisi, dan paham pula apa pengaruh kejiwaannya bagi hidupnya sehari-hari, datang ke Parangkusuma dengan perlengkapan komplet. Saya tak mengerti apa-apa mengenai perkara ini. Bagi yang percaya, di Parangkusuma ada sisa-sisa bangunan peninggalan Sultan Agung: bekas gapura, menghadap ke selatan, dan kemudian ada jalan masuk menuju Cepuri, suatu taman, konon tempat Kanjeng Sultan bercengkerama, dan juga "istirahat" bersama Ratu Kidul, yang konon menjadi istri raja-raja Mataram sejak Panembahan Senopati, pendiri Dinasti Mataram, yang terkenal itu. Di bekas bangunan Cepuri itu orang melakukan ritus-ritus penting. Membuka bungkusan kembang. Membakar dupa, kemenyan. Bersemadi. Dan berdiaog dengan kekuatan-kekuatan ghaib, untuk berbagai kepentingan.

Boleh jadi mereka juga berpuasa. Mungkin tiga hari tiga malam. Mungkin tujuh hari tujuh malam. Tapi bisa jadi ada pula yang empat puluh hari empat puluh malam, sesuai kepentingan saat itu. Saya baru satu kali hadir di Parangkusuma itu, di tengah manusia Jawa kontemporer, yang mencampur aduk ritus dengan hiburan, kekuatan baik dengan kekuatan setan, dan agama dengan kemaksiatan. Di sana suasana terasa seperti toko serbaada. Apa yang dicari bisa ditemukan. Suasananya serbagado-gado. Serbaposmo. Serbacampursari. Dan kita bebas memilih jalan kita sendiri-sendiri.

Itulah warna-warni hidup. Kita tak bisa menentukan hanya satu warna. Kita tak bisa menyediakan hanya satu bunyi. Dalam hidup, di mana ada kebaikan, di situ ada kejahatan. Di mana terdengar seruan Tuhan, di situ bergema bisikan setan. Saya ada di sana, tiga tahun lalu, menyaksikan Ki Timbul Hadiprayitno memberi pendidikan rohani lewat dunia wayang yang sangat serius. Dan saya pun, tiba-tiba, harus merenung, mencari makna dari simbol-simbol yang ditampilkan dalam dunia wayang tadi.

"Apa makna sebuah tradisi?" Saya merenung lama sekali menghadapi pertanyaan ini. Bagi orang yang belajar antropologi, artinya belajar makna tradisi dalam konteks suatu kebudayaan, pertanyaan ini justru tak mudah dijawab. Tiap hari kita sibuk menjaga dan mengamankan tradisi. Tiap hari kita hidup dengan tradisi. Kita gembira dan sedih di tengah tradisi. Kita segar dan lelah di dalam tradisi. Diam-diam kita bahkan juga sibuk mencipta tradisi. Manusia modern, yang kebutuhan hidupnya lebih kompleks, tak bisa hanya mengandalkan tradisi yang sudah ada. Warisan masa lalu, warisan dari dunia yang lebih kecil, lebih sederhana dan bersifat seadanya, tak lagi mampu mengakomodasi kebutuhan manusia modern yang kompleks tadi.

Maka, mereka pun mencipta, dan mencipta terus tradisi baru. Dan bila tradisi ini lapuk, mereka menggantinya dengan ciptaan baru lagi. Dan lagi. Tapi apa jawaban atas pertanyaan tadi? Kalau pertanyaan itu diperluas: apa makna menghormati tradisi melakukan ritus-ritus spiritual tanggal 1 Sura, saya tahu jawabnya. Di sini, tradisi seperti itu mungkin merupakan oase yang sejuk, dan menyegarkan bagi jiwa manusia modern yang kelelahan, yang bahkan telah kehabisan energi selama dalam pergulatan ruwet, teknis, dan rutin mengejar kehidupan materi yang tak kunjung memberi rasa puas. Kita mencari oase di "gurun" kehidupan.

Dalam usaha mengejar materi itu manusia didorong keserakahan tanpa batas. Hidup makin hari makin menuju ke kehampaan. Kita kehilangan makna sejati. Bagi orang Barat sendiri, seperti tercermin dalam filsafat Erich Fromm, manusia modern sudah "keponthal-ponthal" dan terjerumus ke dalam pilihan hidup untuk "memiliki", sebuah jalan tak berujung, yang bukan hanya melelahkan, melainkan juga menyesatkan karena "memiliki" itu kapan puasnya? Meskipun begitu ada pula yang berusaha untuk tetap "memiliki" sekaligus "menjadi". Dan itu boleh saja. Tapi tradisi "Suran" dilihat dari kacamata kebudayaan, bukan tinjauan agama dan fikihnya, menurut hemat saya mungkin lebih merupakan usaha manusia untuk memenuhi hasrat quot;menjadi". Ini ritus pembebasan jiwa dari dominasi dunia materi yang berlebihan dan memuakkan. (Eko Budiyanto)