Kamis, 20 Februari 2014

Sepenggal Cerita dari Gunung Kelud

Pukul 23 kurang bbrp menit, saya terima bbm dari adik (tinggal di radius 20 KM dari G. Kelud); “Kelud meletus, mas”. Ingatan sy langsung mengarah ke Ibu & bpk. Lewat pesan yg sama saya tanyakan kbr mereka berdua. Adik menjawab; ibu masih di satak. Jari-jari saya gemetar memencet nomor ibu. Tersambung. Di seberang telpn tedengar dentuman keras disusul suara ibu yang terbata-bata, gemetar ketakutan, tak jelas karena bersaing dengan suara benda-benda menghujani atap rumah. Hanya sempat berbicara sekian detik, telephon terputus. Saya hubungi lagi tak ada jawaban. Singkat cerita, malam itu jadi malam menegangkan buat saya.
 
Orangtua saya tinggal desa Satak-Puncu, 15 KM dari kelud. Mereka bertahan di tempat itu dengan asumsi erupsi akan sama dengan tahun 1990 lampau. Perkiraan mereka, dan kebanyakan penduduk kampung meleset. Erupsi kelud tahun 2014 ini lima kali (begitu mreka membandingkan) lebih dahsyat. Pabrik kopi yang digunakan sebagai tempat pengungsian penduduk kampung terdekat bahkan ambles atapnya. Para pengungsi kocar-kacir menyelamatkan diri, semburat tak tentu arah. Yang paling bingung adalah mereka yang punya bayi. Seolah tak ada lagi tempat aman di sana.

Semalaman saya nyaris tak dapat tidur. Dari Metrotv yang tengah siaran langsung di Ngancar (10 KM dari kelud) saya pantau terus perkembangan di sana. Dahsyatnya erupsi kelud terlihat jelas di layar TV, para penduduk yang kocar-kacir menyelamatkan diri, berjubelan memenuhi jalanan yang tiba-tiba macet seperti jalanan di kota-kota besar. Bahkan metro tv mesti memindahkan lokasi siarannya ke Desa Wates, 20 KM dari pusat erupsi. Saya lihat presenter di studio metrotv juga ikut tegang setelah beberapa kali gagal mengontak reporternya di lapangan.

Dini hari selepas subuh saya putuskan untuk ke Kediri. Para tetangga bertanya, kok malah ke Kediri? Terusterang pikiran saya kalut, tegang, takut. Seperti umumnya kita, tak pernah siap kehilangan orang2 tercinta. Hingga subuh itu saya tak tahu kabar orangtua. Lebih parah lagi istri yg sdg mengandung 6 bln, memaksa ikut. Apa boleh buat.

Pagi itu langit Surabaya tk seperti biasanya, gelap bukan karena mendung, melainkan debu halus yg beterbangan di udara. Beberapa kali saya nyalakan wiper menghalau debu halus itu. Ini lagi-lagi menggambarkan dahsyatnya erupsi kelud. Perjalanan Surabaya-Kediri yang normalnya 2,5 jam, harus saya tempuh 4 jam. Saya lega, di tengah perjalanan adik mengabarkan bahwa bapak & ibu sdh sampai di rumahnya. Setelah susah payah mengendalikan mobil menembus aspal berpasir tebal di sepanjang jalan, saya dan istri tiba di rumah adik, desa Pranggang kecamatan Plosoklaten (20 KM dari Kelud). Terlihat atap genting sepenuhnya tetutup pasir. Di sana berkumpul 20 an orang, famili kakak saya yang mengungsi karena desa mereka termasuk zona bahaya. Saya bisa merasakan duka mereka, memikirkan rumah dan nasib ternak yang tertinggal di rumah. Pakaian yg mreka kenakan berikut wajah mereka tampak kuyu karena lelah dan kotor oleh debu. Malam itu tampaknya jadi malam terpanjang mereka.

Cerita orangtua saya

Mereka benar-benar tak membayangkan efek kelud akan sehebat ini. Malam itu, tiba-tiba listrik padam bersamaan dengan hujan gragal (lebih besar dari krikil) + batu yang terus-menerus berjatuhan dari udara, diselingi dentuman menguncangkan tempat mereka berlindung, rumah berdiding papan dan beratap seng itu. Di tengah gelap, mereka mengotong meja makan ke dalam rumah, berlindung di bawahnya, membayangkan kalau-kalau atap rumah rubuh minimal masih ada sedikit bidang untuk berlindung. Hati dan bibir tak henti melafadz zikir, doa-doa mohon perlindungan.

Pukul 3 dini hari, hujan gragal dan batu sudah reda. langit memang masih gelap, tetapi jalanan depan rumah telah riuh dengan suara-suara teriakan dan deru motor. Dan sebuah pemandangan baru, halaman rumah mereka telah tertutup oleh pasir. Dini hari itu juga, kedua orangtua saya bersama penduduk lain, meninggalkan rumah. Maunya bapak menunggu sampai subuh, tapi ibu merengek saat itu juga harus segera pergi. Trauma menghantui perempuan 57 tahun itu. Namun semuanya kini tak lagi mudah. Jika sehari sebelumnya mereka leluasa berjalan atau bermotor, kini sangat susah. Bapak beberapa kali terjatuh dan ibu terlempar dari boncengannya karena stir motor sulit dikendalikan, terjebak di tengah jalan berpasir. Perjalanan ke rumah adik yang normalnya hanya butuh waktu 25 menit, mesti ditempuh dalam waktu 2,5 jam. Hari itu adalah hari yang paling menegangkan dalam hidup mereka.

Cerita kakak saya

Ds. Pulerejo kec. Plosoklaten. Malam itu, dari corong masjid terdengar pengumuman jika kelud akan meletus. Para penduduk bukannya segera mengungsi, malah berhamburan ke tengah jalan menyaksikan kilatan di langit timur. Ini tontonan langka, pikir mereka. Anak-anakpun turut serta. Tanda-tanda bahaya baru mereka sadari ketika kilatan itu disertai ledakan dahsyat berkali-kali yang menggetarkan tempat mereka berdiri. Ponakan saya yang mulanya senang dengan fenomena ajaib itu, serta-merta gemetaran, keringat dingin membahasi tubuhnya. Tampaknya suara mirip bom itu telah meruntuhkan kebandelan anak laki 10 th itu. Ya, ini bukan mercon, tetapi lebih mirip bom atom yg melantakkan Hiroshima yg dibacanya dlm buku sejarah. Bahkan lelaki paling perkasa sekalipun, pasti akan ciut nyali menghadapi bukti-bukti keperkasaan Allah pada malam itu.

Tanpa pikir panjang, dengan hanya berbekal pakaian di badan, mereka (suami istri, 2 anak + perempuan 70an th) segera menstarter motor, mengungsi ke rumah adik. Suasana jalanan sudah mirip pasar malam, seluruh penduduk di desa yang berjarak 13 KM dari kelud itu tumpah ruah di jalanan, tunggang langgang menyelamatkan diri. Mereka berlindung di mana saja bangunan yang aman; emperan rumah, toko-toko. Suasana menjelang penghabisan malam itu benar-benar mencekam. Sesampai di rumah adik, kakak ipar laki-laki langsung balik ke desanya, berpapasan dengan para pengungsi yang meriuhi jalanan. Waktu itu hujan pasir belum turun. Setelah tengah pejalanan mencapai desa, barulah pasir dan kerikil tiris satu-satu. Dia tetap nekad menerjang hujan pasir yang mulai menderas. Sesampai di rumah beberapa telah berkumpul beberapa saudara laki-laki, berembuk bagaimana menyelamatkan ternak-ternak dan harta benda lainnya. Tetapi hujan pasir disertai kerikil sudah semakin deras. Dalam rapat singkat itu diputuskan; semua harus mengungsi. Jangan pikir harta benda. Yang paling penting keselamatan jiwa.

Kakak ipar saya, yang sehari-harinya sangat bernyali itu (bahkan bisa menembus hutan dan ladang pada tengah malam), malam itu seperti telah rontok nyalinya. Ia segera menarik selimut tebal dari kamar, dan bersama 4 saudara laki-lakinya bermotor di bawah siraman pasir dan batu, berlindung dengan selimut kumalnya itu. Alhamdulillah, semuanya selamat.

Kampung halaman

Sabtu, 15 februari, besama istri, ibu dan adik kami mengunjungi kampung halaman yg suasananya seperti kuburan; sepi & mencekam, para warga masih mengungsi. Pasir setebal 30-40 cm masih menutupi jalanan dan atap rumah-rumah penduduk. Jalanan aspal telah lenyap. Kami saksikan beberapa atap rumah ambles tak kuat menahan beban pasir. Termasuk dapur rumah ibu.

Inilah sepenggal cerita dari mereka yang malam itu menghadapi langsung bencana erupsi kelud. Dan setiap musibah pasti ada hikmahnya. Sekian.

Md Aminudin