Selasa, 11 Februari 2014

Unsur Tauhid dalam Makan

Para sesepuh kita dahulu kalau makan itu memakai pakaian yang bagus, rapi, wangi, ceritanya yang baik-baik, kalau ada tamu ceritanya yang menyemangati tamu agar tamu tidak rikuh makan dan tamu nikmat makannya. Hal itu karena beliau-beliau makan sambil menghormati pemberi rezeki, bismillah bin niyah hormat kepada pemberi rizki, sehingga kalau ada nasi yang jatuh sekalipun sebiji (seupa)  itu diambil, karena untuk hormat kepada yang menciptakan dan pemberi rezeki, serta ingat bahwa yang ikut andil dari sebutir nasi itu banyak, dari mulai petani, air, tanah, sinar matahari, penjual, dan lain-lain. Dan ini masuk dalam doa Allahumma baarik lanaa fiimaa razaqtanaa wa qinaa ‘adzaaban naar.

Kalau dalam nasi saja yang andil banyak, apalagi bangsa dan Negara ini? Apalagi penyebaran Agama Islam ini? Apa penyebaran Agama hanya andil satu kiai? Apa kemerdekaan hanya andil satu atau dua orang?

Para auliya’, makannya beliau-beliau saja itu ibadah, karena di dalam makan menyadari ketauhidan Allah, pasrah, ketika makanan masuk maka sadar dan pasrah, karena tanpa campur tangan kuasa Allah, makanan itu tidak bisa masuk ditelan, tidak bisa dicerna menjadi darah, dan lain-lain. Di sinilah unsur tauhid dalam makan. Sehingga tidak ada yang merasa bisa disombongkan.

Kalau kita makan kita niati untuk ibadah, maka tubuh ini bisa merasa berat untuk bermaksiat. Mengapa kok dalam doa ada wa qinaa ‘adzaaban naar? Wa qinaa ‘adzaaban naar ini tidak hanya untuk konteks akhirat. Karena belum tentu yang dimakan adalah halal, meskipun secara syari’ah halal. Dan waqinaa ‘adzaaban naar ini kemudian dijawab dalam doa masuk kamar mandi atau WC dan doa setelah buang air. Wallahu a’lam.