Kamis, 23 Januari 2014

Abdurrahman Ad-Dakhil, 'Si Rajawali Quraisy' Pendiri Umayyah Andalusia

Abdurrahman Ad-Dakhil merupakan salah seorang keluarga istana Bani Umayyah. Bani Umayyah memegang tampuk kekhilafahan selama 90 tahun. Selama itu, kekuasaan Bani Umayyah membentang antara tembok China di timur hingga "Pilar-pilar Herkules" dan Pegunungan Pyrenees (perbatasan antara Perancis dan Spanyol) di barat. Meskipun demikian, pada saat itu kekuasaan Bani Umayyah semakin lemah dan akhirnya tahta kerajaan hilang dari tangan mereka. Selanjutnya kematian mengancam mereka, bahkan, hampir saja Abdurrahman Ad-Dakhil menjadi mangsa kejahatan orang-orang Abbasiyah.
 
Saat itu para keturunan Bani Umayyah yang tersisa jiwanya terancam dan tidak merasa aman. Saat itu, di hadapan Abdurrahman Ad-Dakhil hanya ada dua pilihan: menyerah kepada Bani Abbasiyah sehingga akan mengalami seperti keluarganya yang lain dan para pengikutnya (dibunuh oleh pasukan Bani Abbasiyah), atau mencoba kabur dan keluar dari kepungan mereka.

Saat itu orang-orang Abbasiyah menargetkan keturunan Bani Umayyah untuk mereka bunuh. Abdurrahman Ad-Dakhil menceritakan:

"Suatu ketika kami dijanjikan perlindungan keamanan, tetapi akhirnya kami dikhianati di sungai Abu Futhurs. Di sana orang-orang kami dibunuh. Kabar pembunuhan itu sampai kepada kami. Saat itu aku sedang bersembunyi dari pasukan Abbasiyah. Aku segera pulang ke rumah dengan rasa putus asa dan ketakutan. Aku segera mengumpulkan barang-barang yang dapat aku bawa sebagai bekal untukku dan keluargaku. Aku keluar dari rumah dengan rasa takut yang mencekam. Aku pergi menuju sebuah desa yang rindang dekat sungai Efrat.

Suatu ketika di desa itu, anakku yang baru berumur 4 tahun bernama Sulaiman sedang bermain di sisiku. Beberapa saat kemudian dia keluar dan menghilang, lalu masuk lagi melalui pintu rumah sambil menangis ketakutan. Aku menggendongnya dan dia mendekapku. Aku segera menengok keluar, ternyata suasana saat itu begitu menakutkan, karena pasukan Abbasiyah dengan panji-panji Islam sedang bergerak cepat masuk ke desa.

Melihat hal itu, adikku yang masih berusia remaja berteriak, 'Selamatkan diri... selamatkan diri... itu adalah bendera pasukan Abbasiyah.' Aku mengambil beberapa keping uang dinar dan menyelamatkan diri bersama adikku. Aku memberi tahu saudari-saudariku ke mana tujuan kepergianku, lalu aku memerintahkan kepada mereka dan budakku yang bernama Badr agar menyusulku.

Kuda-kuda pasukan Abbasiyah mengitari desa, tetapi mereka tidak menemukan jejakku. Aku segera mendatangi salah seorang kenalanku untuk meminta bantuannya, lalu dia memberikan kuda dan perbekalan untukku. Akan tetapi salah seorang budaknya melihatku dan memberitahukan keberadaanku kepada pasukan Abbasiyah. Mendengar informasi ini, pasukan Abbasiyah segera mengejarku. Aku dan adikku berlari, sementara pasukan berkuda Abbasiyah mengejar dan mencari-cari kami.

Akhirnya kami sampai di sebuah perkebunan di tepi sungai Eufrat. Tak berapa lama kemudian, pasukan berkuda Abbasiyah berhasil menyusul kami. Tanpa pikir panjang, kami berdua langsung terjun berenang ke sungai. Aku bisa selamat hingga ke seberang sungai, sementara pasukan Abbasiyah berteriak memanggil kami agar kembali dengan jaminan keamanan dari mereka, akan tetapi aku tidak mau kembali. Adapun adikku, dia tidak pandai berenang. Ketika sampai di tengah sungai dan mendengar panggilan pasukan Abbasiyah, dia lebih memilih kembali dengan harapan jaminan kemanan yang mereka janjikan. Tetapi setelah dia sampai kepada mereka, mereka justru menangkapnya dan membunuhnya, sementara saya hanya bisa melihatnya dari seberang sungai. Adikku saat itu baru berumur 13 tahun. Aku sangat sedih melihatnya terbunuh. Setelah itu aku bersembunyi di hutan. Saat kurasa mereka sudah berhenti mencariku, aku keluar melanjutkan perjalanan dengan tujuan negeri Maroko. Akhirnya aku bisa sampai di Afrika."

Membangun kekuasaan dalam pelarian pada usia 21 tahun, Abdurrahman Ad-Dakhil berperawakan tinggi, kuat, dan dia seorang pemberani. Dalam pelarian, dia mengirim surat kepada para gubernur Bani Umayyah yang ada di Andalus. Surat itu dibawa oleh budak setianya yang bernama Badr. Dengan pendekatan seperti ini, Abdurrahman Ad-Dakhil berhasil memasuki Andalus dan orang-orang suku Yaman mengumumkan kesetiaan mereka kepadanya.

Sedikit demi sedikit, Abdurrahman Ad-Dakhil mulai menggalang pasukannya. Usahanya ini disambut dengan antusias oleh suku-suku Arab yang terdapat di Andalus, khususnya Sevila. Akhirnya, pasukan Abdurrahman Ad-Dakhil siap melancarkan serangan ke Cordoba.

Saat itu, Yusuf bin Abdurrahman Al-Fihri, gubernur Cordoba yang ditunjuk oleh Dinasti Abbasiyah, sudah menyiapkan pasukannya untuk menyambut kedatangan Abdurrahman Ad-Dakhil dan pasukannya. Dalam pertempuran di dekat sungai Al-Wadi' Al-Kabir (Quadalquivir), pasukan Abdurrahman Ad-Dakhil dapat menangkapnya. Selanjutnya, dalam waktu kurang dari setahun, pasukan Abdurrahman Ad-Dakhil berhasil masuk Cordoba dengan membawa kemenangan yang gemilang dan mengusir seluruh pesaingnya. Abdurrahman Ad-Dakhil berhasil menyatukan seluruh negeri Andalus dibawah panji kekuasaannya. Dengan kekuatan, kecerdikan, dan kekuatan tekadnya, dia berhasil mengatasi berbagai kesulitan yang dia hadapi dan mampu menciptakan kestabilan dan keamanan di seluruh penjuru negeri Andalus.

Untuk mengembalikan Andalus ke dalam kekuasaannya, lagi-lagi khalifah Abbasiyah mengirimkan pasukannya dengan dipimpin oleh panglima yang bernama Ibnu Mughits Al-Yahsyabi dari Afrika untuk menghabisi Abdurrahman Ad-Dakhil. Akan tetapi Abdurrahman Ad-Dakhil berhasil mengatasinya dan berhasil membunuh 7.000 pasukan Al-Yahshabi.

Selanjutnya, Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur tidak mampu mengembalikan negeri Andalus yang jaya ke dalam kekuasaan Bani Abbasiyah. Justru sebaliknya, Abu Ja'far Al-Manshur mulai memperhitungkan dan takjub dengan kemampuan Abdurrahman Ad-Dakhil.

Itulah kemampuan Abdurrahman Ad-Dakhil, meskipun dia dalam pelarian tetapi mampu membangun kembali kerajaannya di Andalus. Suatu hari, seorang khalifah Bani Abbasiyah, Abu Ja'far Al-Manshur, bertanya kepada para bawahannya, "Beritahu aku, siapa yang dimaksud dengan Shaqr Quraisy (Elang Quraisy)?"

Mereka menjawab, "Wahai Amirul mukminin, dia adalah orang yang menundukkan kerajaannya, meredakan pemberontakan, memperbaiki kerusakan, dan membasmi musuh-musuhnya."

"Kalian belum menjawab apapun," kata Abu Ja'far.
Mereka menebak, "Dia pasti Mu'awiyah"
"Bukan yang ini" kata Abu Ja'far.
"Kalau begitu, diakah Abdul Malik bin Marwan?" jawab mereka.
"Bukan orang itu juga" kata Abu Ja'far menyanggah.
"Kalau begitu siapakah dia, wahai Amirul Mukminin?" tanya mereka penasaran.

Akhirnya Abu Ja'far menjawab, "Ia tidak lain adalah Abdurrahman bin Mu'awiyah yang telah menyeberangi lautan, melintasi padang tandus, masuk ke negeri asing sendirian, mendiami kota demi kota, membentuk pasukan dan kementerian, serta mendirikan kembali kerajaannya setelah sempat terputus dengan pengaturan dan pengendaliannya yang bagus."

Selanjutnya, raja Perancis yang bernama Charlemagne menggerakkan pasukannya untuk menguasai wilayah-wilayah Andalus bagian utara hingga sampai di Zaragoza. Akan tetapi, ekspedisi pasukan Perancis ini mengalami kekalahan telak di sana. Dengan demikian, Abdurrahman Ad-Dakhil berhasil mengalahkan Dinasti Abbasiyah dan Charlemagne, Raja Perancis.

Selanjutnya, Abdurrahman Ad-Dakhil memilih Cordoba sebagai ibu kota pemerintahannya. Di sana, ia mendirikan istana-istana dan masjid jami'. Ia menempati istana Cordoba Lama (Alcazar) sebagai pusat pemerintahannya. Dia juga membuat penampungan air bersih dan menyalurkannya ke pabrik-pabrik. Di samping itu, Dinasti Umayyah juga mendirikan berbagai bangunan istana yang megah dan taman-taman yang indah. Nama-nama istana itu antara lain Al-Kamil, Al-Mujaddid, Al-Ha'ir, Ar-Raudhah, Az-Zahir, Al-Ma'syuq, Al-Mubarak, Ar-Rastaq, Istana As-Surur, At-Taj, Al-Badi' dan Ar-Rashafah.

Masjid raya Cordoba yang dibangun tahun 168 H merupakan masjid terindah yang pernah ada dalam sejarah peradaban Islam. Biaya pembangunannya mencapai 80.000 dinar. Abdurrahman Ad-Dakhil juga dikenal sangat adil, bahkan ia sendiri yang memeriksa kezhaliman dan melayani orang-orang yang lemah dari tindakan kesewenangan orang-orang yang lebih kuat.

Abdurrahman Ad-Dakhil memerintah Andalus selama 33 tahun 4 bulan. Ia wafat pada tahun 172 H. Dia memerintah semasa dengan berkuasanya tiga khalifah Dinasti Abbasiyah, mulai dari Al-Manshur, Al-Mahdi, dan Al-Rasyid. Abdurrahman Ad-Dakhil dikenal adil sehingga dicintai oleh rakyatnya.

Abu Hayyan mengatakan, "Abdurrahman Ad-Dakhil adalah orang yang sangat murah hati, luas pengetahuan dan wawasannya, teguh hati, memiliki tekad yang kuat, tidak lemah, cepat bangkit, gerakannya berkesinambungan, tidak suka bersantai-santai, tidak begitu saja menyerahkan urusan kepada orang lain, sangat pemberani, serta lancar dan fasih bicaranya."