Senin, 27 Januari 2014

Al-Farabi, Filosof Politik Islam dan 'Guru Kedua' Pasca Aristoteles

Al-Farabi adalah seorang pendiri tradisi utama filsafat Islam. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Ia lahir di Wasij, distrik Farab (kini dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana), Turkistan pada tahun 257 H/870 M. Di kalangan Latin Abad tengah, ia dikenal dengan Abu Nashr (Abunaser). Sedangkan nama al-Farabi sendiri diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan.
 
Sejak kecil, Al-Farabi dikenal sebagai anak yang tekun belajar, terutama dalam mempelajari bahasa, kosa kata, dan tutur kata. Ia sangat memahami bahasa Iran, Turkistan dan Kurdikistan, namun tidak halnya dengan bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan pada waktu itu. Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa Farabi dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa, tetapi yang ia kuasai dengan aktif hanya empat bahasa: Arab, Persia, Turki dan Kurdi.

Saat berusia 40 tahun, Al-Farabi pergi ke Baghadad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia di kala itu. Di sana, Ia mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab dari Abu Bakar al-Saraj dan belajar logika serta filsafat kepada seorang kristiani, Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailani. Tak lama, ia pun kembali lagi ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Selama di Baghdad, ia menghabiskan waktunya dengan berdiskusi, mengajar, mengarang dan mengulas buku-buku filsafat.

Dalam dunia intelektual Islam, al-Farabi diberi gelar al-Mu'allim al-Sany (Guru Kedua), sedangkan yang menjadi guru pertama adalah Aristoteles yang menyandang gelar al-Mu'allim al-Awwal (Guru Pertama). Selain itu, al-Farabi juga menyandang predikat al-Syaikh al-Rais (Kyai Utama). Semua gelar ini ia dapatkan karena ia banyak memahami filsafat Arsitoteles.

Pemikiran al-Farabi dituangkan ke dalam sebuah karya, seperti kitab-kitab besar, makalah-makalah, ulasan-ulasan dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al-Dfraudismy dan Plotinus. Beberapa buah karya dari seorang al-Farabi, antara lain Al-Jami'u Baina Ra'yani Al-Himah Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles), As Suyasatu Am Madinah (politik pemerintahan) dan Fususu Al Taram (hakikat kebenaran). Karyanya yang monumental dalam hal pemikiran politik adalah Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan). Karyanya ini merupakan ikhtisar dari seluruh pemikirannya yang mencakup epistemologi, filsafat wujud, etika, dan filsafat kenabian.

Al-Farabi membahas tentang pencapaian kebahagiaan melalui kehidupan politik, filsafat al-Farabi ini lebih mengarah kepada filsafat Plato dan hukum ilahiah Islam. Menurut Plato, puncak kebahagiaan hanya dapat diraih dalam negara (politeia). Sedangkan bagi al-Farabi, kesempurnaan dan kebahagiaan hanya dapat diperoleh dalam negara ideal yang sempurna pemerintahannya, yang dipimpin oleh raja filosof yang identik dengan pemberi hukum dan imam.

Al-Farabi berpandangan, yang paling ideal sebagai Kepala Negara adalah Nabi/Rasul atau filosofis. Selain tugasnya mengatur Negara, juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-sifat Kepala Negara yang ideal ini, pimpinan Negara diserahkan kepada seorang yang memiliki sifat-sifat yang dekat sebagai Kepala Negara yang ideal. Paling tidak ada tiga kelompok orang dari segi kapasitas untuk memimpin yaitu untuk memandu dan menasehati: kuasa tertinggi atau kuasa sepenuhnya (penguasa tanpa kualifikasi), penguasa subordinat (tingkat kedua), yang berkuasa dan sekaligus dikuasai, dan yang dikuasai sepenuhnya.

Dengan kriteria ini akan tercipta kota utama (negara utama) yaitu kota yang bekerja sama dengan penduduknya untuk dapat meraih kebahagiaan yang sesungguhnya. Maka bagi al-Farabi mencerdaskan dan memberikan pengetahuan pada penduduk adalah tujuan utama dari terbentuknya kota utama (negara utama). Ia membedakan kota utama dengan kota lainnya dengan mengelompokkanya menjadi tiga, yaitu kota jahiliyah, kota fasiq dan kota sesat.

Sementara kota utama (negara utama) lebih mudah diwujudkan di kota demokratis dari pada ke tiga kota tersebut. Kota demokratis yang dimaksudkan oleh al Farabi adalah kota yang tujuan penduduknya adalah kebebasan, yang setiap penduduk melakukan apa yang dikehendaki tanpa ada kekangan. Karena dengan kebebasan, egaliter, lama kelamaan akan bermunculan orang-orang bajik, meskipun selanjutnya memiliki kelemahan. Karena penduduk dalam kota ini cenderung menginginkan pemimpin yang memudahkan keinginannya dan memberikan kebebasan pada dirinya.

Secara spesifik al Farabi mengungkapkan bahwa kota demokrasi adalah kota terbaik kedua setelah kota utama, meskipun kota tersebut menampung kecenderungan apapun, yang buruk ataupun yang baik. Tapi memberikan peluang yang besar akan munculnya orang-orang bajik. Pemikirannya ini didasarkan pada apresiasinya atas kota utama al Farabi yang bersifat aristokratis dan otokratis

Filsafat politik al-Farabi mengawali teorinya dengan menentukan kriteria pemimpin yang ideal, selanjutnya bagaimana terbentuknya kota utama dengan pemimpin ideal yang sesuai kriteria. Hal lainnya yang penting dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan kota utama adalah administrasi pemerintahan. Dan ada lima kriteria seseorang dianggap berhak memegang kendali administrasi pemerintahan, yaitu bijak, penerjemah, juru nilai, pejuan dan orang kaya.

Al-Farabi tidak hanya dikenal dalam pemikirannya mengenai filsafat politik saja, namun juga di bidang fisika, metafisika dan logika yang telah memberikannya posisi terkemuka di antara filosof-filosof Islam.